Apa yang ada di benak anda ketika saya bertanya "kolonialisme Belanda di Indonesia?". Kejam, serakah, kemaruk, dan lain sebagainya mungkin adalah kata yang anda gunakan untuk menggambarkannya. Bagaimanapun masa kelam itu tetap membekas di hati kita, mungkin.
Sejak SD saya selalu di doktrin (menurut saya) untuk "membenci" Belanda. Seolah tidak ada satu orang Belanda pun yang baik dalam buku-buku sejarah sekolah. Semuanya berbicara masalah tanam paksa, kerja paksa, intinya hal-hal yang memberikan kenangan dan pemikiran buruk terhadap kolonilisme Belanda dan akibatnya membuat bayangan buruk terhadap Belanda.
Beruntunglah saya bertemu buku karangan Multatuli atau lebih kita kenal sebagai Eduard Douwes Dekker berjudul Max Havelaar saat SD dulu. Meski jujur saja sangat susah dalam memahami kata per kata dan bahkan harus sering-sering melihat kamus Belanda-Indonesia namun saya memiliki pandangan berbeda dari apa yang diceritakan dalam buku pelajaran SD saya.
Satu hal paling mendasar adalah bahwa tidak semua orang Belanda itu "memperbudak" rakyat pribumi dengan semena-mena dan tidak hanya orang Belanda saja yang patut disalahkan. Inggris, Portugal (Portugis), Spanyol, hingga raja-raja/pemimpin pribumi pun ada yang bisa disalahkan. Semuanya memiliki andil dalam menindas pada saat itu.
Kembali dalam sejarah. Apakah anda masih ingat yang membuat VoC (Vereenigde Oostindische Compagnie) menjadi bangkrut? Korupsi, tunggakan gaji, biaya perang adalah beberapa alasan VoC bangkrut. Namun dari semua alasan hanya ada dua yang mengemuka, Korupsi dan ketidak beresan dalam pengelolaan.Â
Dua hal yang membuat VoC bangkrut nampaknya sedang menghinggapi Indonesia saat ini. Perbudakan juga merupakan tambahan dari pepaduan antara korupsi dan ketidak beresan pengelolaan negara. Mengapa? Mungkin anda harus turun ke petani dan nelayan agar tersadar bahwa buku novel karangan Multatuli masih layak untuk saat ini dengan subjek yang harus diganti dengan rakyat pribumi yang berdasi.
Pernahkah anda membeli sayur di pasar? Berapa harganya? Bandingkan dengan harga yang harus anda bayar jika membeli langsung ke petani. Jawabannya pasti akan jauh lebih murah membeli di petani langsung. Sebagai perbandingan, dalam waktu yang hampir bersamaan (sekitar 2 hari) saya membeli sayur yang sama yakni gubis di pasar dan langsung ke petani. Di pasar saya mendapat harga Rp. 1.000 per buah ukuran besar, sedangkan di pertani dengan ukuran yang sama saya hanya perlu membayar Rp. 300 saja. Adil?
Jika anda beralasan itu dipotong biaya transportasi dan keuntungan pedagang pasar mungkin akan saya sedikit ceritakan pengalaman bertemu dengan petani asal Kabupaten Malang sebut saja namanya Mbah Min. Beliau pernah berujar jika apa yang mereka kerjakan sering tidak sebanding dengan upah (bayaran) hasil panen meski panen sedang bagus. Dari Mbah Min juga saya tahu bahwa tidak semua petani sayur itu menjual sayurnya langsung, lebih banyak yang menggunakan "jasa" tengkulak yang kadang semena-mena memberi harga.
Jangan keburu menyalahkan pemerintah ketika memang harga kebutuhan pokok meningkat. Cari tahu dulu kiranya siapa yang bersalah.
Bagian lain yang sudah terulang kini adalah "kesewenang-wenangan" pemerintah dengan dalih legal dan untuk orang banyak akhirnya mengorbankan kepentingan rakyat. Silahkan baca kasus-kasus kekinian mengenai Reklamasi Teluk Benoa, Orang-orang Kaum Samin, Waduk Jatigede, dan lain sebagainya. Pemerintah ikut andil dalam kasus-kasus itu, baik langsung maupun tidak.
Kolusi dan nepotisme juga dua hal yang terulang kini. Banyak rakyat yang lebih memaklumi kolusi dan nepotisme ketimbang korupsi. Seolah kini ada pembenaran mengenai adanya kolusi dan nepotisme yang sebenarnya sangat susah untuk dilacak dan dibuktikan. Jauh lebih berbahaya dari sekedar korupsi yang sangat gampang pembuktiaannya, apalagi sekarang ada badan khusus yang diberi nama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).