Mohon tunggu...
Wisnu Adhitama
Wisnu Adhitama Mohon Tunggu... Wiraswasta - Jalani hidup hari ini dan rencanakan besok dan kedepan untuk berbuat sesuatu

Writer on sihitamspeak.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Totalitarianisme di Desa: Minta Maaf dan Logika Pemimpin yang Kacau

16 Maret 2021   09:19 Diperbarui: 16 Maret 2021   09:30 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiga hari yang lalu ramai pemberitaan di internet maupun media pemberitaan konvensional tentang reaksi dari aparat sebuat desa di Sukabumi gara-gara unggahan seorang guru mengenai buruknya kondisi jalan di desa tersebut (baca beritanya disini). Guru tersebut tentu tidaklah salah di mata hukum, terlebih hingga sekarang sangat jarang sekali pemimpin yang menyediakan bilik aduan dan merespon aduan tersebut secara maksimal. Namun bagi aparat desa tersebut hal itu bisa membuka hal-hal lainnya.

Saya jadi gatal untuk sedikit membahas mengenai UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam undang-undang itu pada Pasal 29 huruf a. dan d. serta Pasal 51 huruf a. dan d. menyebutkan bahwa Kepala Desa dan perangkat desa dilarang merugikan kepentingan umum dan melakukan tindakan diskriminatif terhadap warga dan/atau golongan masyarakat tertentu. Lebih jauh melihat kasus tersebut, pada Pasal 68 huruf c. masyarakat berhak untuk menyampaikan aspirasi, saran, dan pendapat lisan atau tertulis mengenai pembangunan desa.

Di kasus ini sepanjang pengamatan saya, melihat video si guru dan video perangkat desa yang ngamuk itu, menandakan adanya ketidak dewasaan kita dalam berdemokrasi. Totalitarianisme jelas tercermin dalam kasus ini. Ini adalah bentuk pembungkaman nyata dan pelanggaran atas Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi: "Setiap orang berhak atas kebebasan ... mengeluarkan pendapat". Selain itu berdasarkan UU HAM (UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia) Pasal 23 ayat (2) menyebutkan "Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya...".

Saya tidak paham betul saat terjadinya persekusi itu para orang-orang disana dalam konteks atas nama desa atau atas nama individu. Karena jelas tindakan ini berbeda konsekuensi hukumnya. Jika atas nama desa, Kepala desa dan/atau aparatur desa bisa dikenakan teguran tertulis hingga pemberhentian. Namun jika itu atas nama individu harusnya polisi sebagai wujud keberadaan negara bisa memeriksa perkara itu atas pengancaman atas dasar intimidasi yang dilakukan. Sebab sebenarnya kita tidak paham betul mengapa para orang yang marah-marah disana bisa semeledak itu. 

Meskipun saya sudah belajar mengenai hukum, terutama hukum di Indonesia, saya tidak paham mengapa tindak intimidasi semacam itu tidak diproses oleh pihak kepolisian dan dianggap selesai ketika ada permintaan maaf. Sedangkan di Indonesia keadilan restoratif itu hanya berlaku khusus pada kasus-kasus anak berkonflik dengan hukum. Jadi menurut saya kasus ini harusnya tidak hanya berhenti saat si Guru meminta maaf. Justru ini akan melahirkan persepsi di publik untuk tidak baik mengutarakan aspirasi terlebih yang menyangkut pemerintah dalam hal ini pemerintahan desa.

Sebagai seorang pemimpin, dalam hal ini pemimpin desa, harusnya mereka sudah dibekali oleh dasar bahwa mereka adalah pelayan masyarakat bukan orang yang memiliki kekuatan atas masyarakat terlebih bersifat otoriter. Para pemimpin harusnya paham bahwa inilah konsekuensi dari dipilihnya negara demokrasi dan bentuk republik yang kita pilih. Rakyat memiliki hak utuh untuk ikut berpartisipasi dalam kehidupan bernegara dengan menyuarakan aspirasinya, sedangkan pemerintah berkewajiban untuk menampung itu semua. Apalagi pemerintah desa berkewajiban untuk melaksanakan kehidupan demokrasi di desa sesuai Pasal 26 Ayat (4) huruf e, bukan cuma menjelang dan mau pemilihan kepala desa saja menegakkan demokrasi.

Dalam kasus ini setelah saya baca banyak berita di Internet, si Guru mengaku trauma dan enggan keluar rumah. Disini harusnya meskipun masalah ini sudah diselesaikan dengan cara kekeluargaan tetap harus ada rehabilitasi terhadap si Guru. Nama baik dari si Guru bisa saja tercemar dan psikologis dari si Guru jelas terganggu. Disini peran negara untuk melindungi masyarakatnya dipertanyakan. Sudahkah negara hadir untuk melakukan rehabilitasi? (AWI)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun