Berada dalam dunia, menjadi tokoh dalam panggung sandiwara.
Berteriak kala musuh menghadang, memukul tiada henti hingga mencapai puncaknya.
Berdiri tegak seakan menjadi yang terhebat dan paling hebat.
Mematahkan suara hanya untuk sebuah emas tak bernilai.
Tiada henti, menghujat, menusuk, berkata yang paling benar, membela yang benar dan semua baik dari tubuh fana.
Dunia hitam, dunia putih.
Cermin seakan tak berarti.
Semua memandang dirinya, merasa yang terpercaya.
Lalu, memandang dunia miliknya, dan seakan hendak tak mau melihat cermin.
Padahal, cerminlah yang membuatmu mengerti.
Apa adanya diri ini di dunia? Dan siapa diri ini,serta bagaimana diri ini harus hidup?
Bahwa, diri ini, dan diri lainnya samalah tak sempurna..
Cerminlah yang memantulkan apa yang terucap sebenarnya ada pada diri ini.
Karena yang dibutuhkan dunia, bukan putih atau hitam.
Tapi dunia membutuhkan cinta yang tulus.
Untuk apa? Untuk menghormati, menghargai, yang menjadi hal yang tidak mudah.
Tak inginkan kesombongan, atau kehebatan. Tapi membutuhkan damai.
Karena sesungguhnya Dialah yang paling benar dan sempurna di dunia ini. Dialah yang membuat diri ini ada dan bisa bercermin.
Lalu, maukah adakan perdamaian itu?
Jawabannya, ditemukan di pintu hati itu.
Bukalah, dan temukanlah, lalu lakukan sebelum mulutmu mulai berkata akan kekosongan belaka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H