Kaum etnik Rohingya memang tak henti dirundung malang. Di tahun 2005-an pernah akan keluar ketentuan dari otoritas setempat di Buthidaung dan Maungdaw di barat laut negara bagian Arakan sepanjang perbatasan Bangladesh mengenai pembatasan dua anak hasil perkawinan.
Jangankan menambah anak, menikah pun harus menunggu lama sebab untuk menikah harus dengan ijin pihak berwenang. Hak kewarganegaraan berdasarkan ketentuan hukum kewarganegaraan tahun 1982 mutlak ditangan penguasa Burma. Diskriminasi ini pernah ditentang oleh pimpinan oposisi Aung San Suu Kyi karena dianggap mengekang pertumbuhan penduduk kaum Rohingya. Tindakan tersebut semacam strategi genosida yang terselubung ditengah sikap militer Myanmar yang kerap melakukan tindakan kekerasan dan perkosaan.
Selain hal itu masih banyak tindakan diskriminatif lain yang diterima kaum etnik Rohingya yang kebanyakan muslim diantara mayoritas Budha. Kaum Rohingya ditolak di Myanmar karena persoalan suku, ditambah lagi dengan persoalan agama. Ujung-ujungnya adalah niat penyingkiran kaum Rohingya dari tanah Myanmar.
Kehadiran Rohingya di Bangladesh juga ditolak, selain karena belitan kesulitan ekonomi, juga karena walau sesama muslim tapi mereka beda suku. Bukankah perbedaan suku juga yang akhirnya membuat pertikaian Pakistan dengan Bangladesh?
Saat ini, setidaknya ada 583 warga asing diantaranya 240 warga Bangladesh yang terdampar di perairan Aceh dan kini ditampung di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Kuala Cangkoi, Aceh Utara. Banyak diantaranya warga Rohingya Myanmar. Tim dari Badan PBB untuk urusan pengungsi (UNHCR) sedang melakukan pendataan untuk identifikasi berapa diantara mereka yang pencari kerja atau yang betul-betul pelarian. Kondisi mereka parah karena kelaparan yang panjang. Kaum pengungsi yang sakit tengah menjalani pemulihan, baik kondisi fisik maupun trauma psikis.
Nah, dalam jangka panjang siapa yang sedia terima Rohingya? Adalah kewajiban Indonesia sebagai bangsa yang pengasih untuk menolong sesama manusia yang menderita. Terlepas dari latar belakang agama dan suku kaum Rohinga, mereka juga adalah sesama penghuni bumi ini. Kita sementara ini memang sedang menolong mereka. Lalu, sampai kapan?
Ironi bahwa Australia yang seakan menjungjung tinggi etik dan moral dengan mengkritik hukuman mati di Indonesia telah lama mengambil kebijakan menolak pengungsi. Padahal kemampuan mereka menerima pengungsi lebih baik dan lahan yang kosong masih jutaan hektar.
Beberapa Negara Uni Eropa juga menolak berbagi ‘jatah’ jumlah pengungsi dari kawasan Afrika dan semenanjung Arab. Tidak bisa dianggap bahwa kawasan Uni Eropa tidak manusiawi, sebab sudah berabad-abad terbukti mereka telah menaikkan harkat martabat dan tingkat kesejahteraan kaum imigran yang sudah kawin mawin dan beranak pinak dibanyak negara Eropa.
Indonesia harus mewaspadai strategi rejim militer Myanmar yang menjadikan Indonesia tempat pelarian pengungsi. Jangan-jangan kita cuma diperalat oleh Myanmar dan sekaligus juga oleh kaum Rohingya? Menerima etnis Rohingya dan merawatnya di Indonesia bukan ujung sebuah penyelesaian. Sebagai Ketua ASEAN diperlukan tindakan diplomasi yang bisa menekan penguasa di Myanmar untuk menerima mereka kembali ke tanah airnya.
Sikap moral Indonesia untuk menolong sesama manusia yang menderita hanya akan memperpanjang masa rejim penguasa Myanmar melakukan tindakan pelanggaran HAM. Jika Myanmar menolak kembalinya pengungsi kaum Rohingya, maka Indonesia dalam jangka panjang bisa membekali para pengungsi dengan kesadaran politik dan ketrampilan, untuk suatu saat kembali berjuang di Myanmar.
Indonesia bisa belajar dari Perancis yang pernah menerima para pelarian Iran, dan ketika saatnya tiba mereka kembali ke tanah airnya untuk menggulingkan rejim Iran yang otoriter. (#)