Rencana KPK membuka cabang di daerah membuat gerah penegak hukum di daerah. Jika sebelumnya, kejaksaan yang merespon rencana KPK tersebut dengan rencana menarik jaksa yang diperbantukan di KPK, kali ini kepolisian yang menunjukan keberatannya.
'Perlawanan' kepolisian ini seperti diungkapkan juru bicara Polri Irjen Ronny Frangki Sompie seperti yang diberitakan detik.com (Kamis, 18/12/2014). "Penyidik KPK di daerah akan diambil dari mana, apakah dari Polri? Tentu ini menjadi hal yang perlu dipertimbangkan secara arif dan bijaksana, kalau menggunakan penyidik Polri, kenapa bukan penyidik Polri saja yang diperkuat?," kata jenderal bintang dua ini. (detik.com)
Menilik dari pernyataan pihak Polri ini, hambatan untuk KPK tetap pada 'keberatan' penyidik yang akan ditugaskan di KPK. Polri bisa saja meniru kejaksaan dengan rencana menarik penyidik mereka di KPK atau juga menghambat penambahan penyidik yang diminta KPK. Bahkan bukan tidak mungkin konflik antara Polri dan KPK kembali pecah seperti kasus Novel Baswedan dan kasus cicak vs buaya. Atau kasus mantan ketua KPK, Antasari Azhar yang disebut-sebut merupakan skenario pelemahan KPK.
Secara kasat mata, keberatan Polri ini terlihat sebagai ego sektoral aparat penegak hukum yang ingin mendapatkan 'perhatian' yang sama dengan KPK. Baik dari sisi kewenangan pengusutan kasus hingga penambahan anggaran. Polri sepertinya ingin penyidikan dan penuntutan ditangani sendiri oleh Polri seperti KPK. Bukan dengan melimpahkan ke Kejaksaan seperti saat ini. Polri juga ingin mendapatkan 'gaji' seperti penyidik KPK dan anggaran 'memadai' untuk biaya mengurus kasus korupsi.
Namun dilihat dari kaca mata berbeda, keberatan Polri sebagai 'perlawanan' terhadap rencana KPK melebarkan sayap ke daerah. Sudah menjadi rahasia umum, permainan hukum antara penegak hukum dan unsur Muspida lain (Kejaksaan, pengadilan, DPRD, kepala daerah beserta dinas instansinya). Dugaan permainan hukum yang sering mencuat di daerah seperti jual beli kasus dengan beberapa cara dan gratifikasi.
Selain itu, integritas kepolisian dan kejaksaan di daerah belum teruji. Sudah menjadi rahasia umum di suatu kepolisian daerah terjadi 'perpecahan'. 'Elemen-elemen' kepolisian tidak bersinergi. Seperti ego sektoral jajaran intel, reskrim, lantas dan lainnya. Begitu juga dengan kejaksaan antara pidana khusus (pidsus), pidana umum (pidum), intel dan perdata.
Masing-masing 'elemen' penegak hukum itu, memiliki 'kaplingan' tersendiri. Aparat di daerah telah terjebak dalam permainan birokrasi muspida yang sama-sama membutuhkan dan menguntungkan. System birokrasi muspida yang telah terbentuk itu tentunya sulit untuk direformasi.
Saat ini yang paling mendesak, bukan penguatan penyidik atau penambahan anggaran untuk kepolisian dan kejaksaan. Akan tetapi perbaikan alias reformasi kepolisian dan kejaksaan itu sendiri. Jika integritas kepolisian dan kejaksaan telah terbentuk, maka penguatan dua institusi ini bisa dilakukan. Bahkan secara otomatis KPK bisa dibubarkan.
Pertanyaannya, mungkinkah kepolisian dan kejaksaan bisa dibersihkan? Itu tugas Presiden Jokowi. Tugas yang sangat berat dan mustahil tercapai dalam waktu yang singkat. Cara tercepatnya, memang dengan pembentukan cabang KPK di daerah. Itu juga pasti mendapat hambatan, namun tidak serumit bersih-bersih di kepolisian dan kejaksaan.
Membuka KPK cabang ibarat menanam pohon dari bibit yang telah melalui uji mutu. Memang diperlukan biaya untuk lahan baru, perawatan dan pengendalian hama. Namun, hasil panennya bisa diprediksi tidak jauh beda dengan pohon utamanya. Sedangkan reformasi Polri dan Kejaksaan bagaikan mencabut pohon tua yang akarnya telah kuat menyebar dan mencengkeram kemana-kemana. Butuh waktu untuk benar-benar bersih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H