Sejumlah kejanggalan mewarnai kebijakan Presiden Jokowi atas kisruh pencalonan Kapolri yang berujung konflik KPK dan Polri. Jokowi terlihat mengelabui publik untuk menutupi sesuatu yang lebih besar dibalik peristiwa tersebut.
Jika dikaitkan runtutan kejadian dan keputusannya, Jokowi terkesan 'mengambilalih' KPK dengan membersihkan orang-orang rezim SBY. Tujuannya bisa untuk kepentingan pribadi, golongan atau juga kepentingan rakyat yakni pemberantasan korupsi. Pastinya hanya Jokowi yang mengetahuinya.
Berikut rentetan kejanggalan sikap Jokowi;
1. Menunggu Putusan Praperadilan BG.
Jokowi membatalkan pelantikan BG bukan keputusan mengejutkan karena kabar itu sudah disampaikan ketua tim 9 Safi'i Maarif dan Ketua DPR Setya Novanto serta kalangan istana. Kejanggalan yang terlihat yakni sikap Jokowi menunggu proses praperadilan, dan saat status tersangka BG 'dicabut' melalui putusan hakim Sarpin Rizaldi, Jokowi tetap tidak melantik BG.
Sikap Jokowi menunda pembatalan BG terlihat hanya mengulur waktu, menunggu Abraham Samad (AS) ditetapkan sebagai tersangka. Jokowi langsung bergerak cepat memberhentikan AS dan BW sehari setelah AS menjadi tersangka.
Sikap itu menguatkan spekulasi Jokowi sedang membersihkan KPK dari orang-orang rezim SBY. AS dan BW sebagai orang SBY sudah lama menjadi opini publik, mulai dari proses seleksi pimpinan KPK sudah terendus. Hingga 'kian jelas' saat KPK memenjarakan Anas Urbaningrum 'bayi yang tak diinginkan' SBY.
2. Penunjukan Plt Pimpinan KPK.
Jokowi menunjuk Taufiqurrahman Ruki sebagai Plt sudah diprediksi. Nama mantan Ketua KPK jilid I itu telah dipersiapkan internal PDIP sejak BW ditangkap Bareskrim Polri dan ditetapkan sebagai tersangka. Selain Ruki, nama Tumpak Hatorangan juga pernah digadang-gadangkan internal PDIP.
Begitu juga penunjukan Plt Indriyanto Seno Adji terlihat ada kaitan kasus skandal century, dia bekas pengacara dua pemilik saham Bank Century dan diyakini memiliki data kasus yang mengarah ke SBY itu.
3. Tidak Menunjuk Busyro Muqoddas dan Roby Arya Brata