Sebagai partai penguasa, PDIP tidak bersikap selayaknya partai pemerintah. Pemenang Pemilu 2014 ini terkesan menjadi oposisi yang berusaha menggerogoti elektabilitas Presiden Jokowi yang tak lain kader murni partai banteng moncong putih itu sendiri. Bahkan akhir-akhir ini pengajuan interpelasi hingga pemakzulan berhembus dari internal PDIP. Apakah Jokowi 'anak tiri' PDIP yang harus disingkirkan?
Berbicara 'anak tiri' partai politik, sejauh ini baru Anas Urbaningrum yang memproklamirkan diri. Dia melepas kursi Ketua Umum Demokrat setelah SBY meminta KPK memberi kepastian status Anas dalam kasus korupsi Hambalang yang 'dijawab' KPK dengan menetapkannya sebagai tersangka. Anas menyebut dirinya adalah bayi yang lahir tidak diharapkan dalam kongres Partai Demokrat tahun 2010.
Demikian juga Jokowi, yang tidak dipersiapkan PDIP untuk Pilpres. Dia ditetapkan sebagai Capres PDIP tiga minggu sebelum Pemilu 9 Juli 2014 dengan harapan mendongkrak perolehan suara PDIP yang menargetkan suara minimal 27 persen. Jika itu tercapai, ada wacana PDIP akan menduetkan Jokowi dengan Puan Maharani.
Sayangnya, PDIP hanya meraup 18,95 persen sehingga Jokowi sangat riskan dipasangkan dengan Puan untuk menghadapi kekuatan figur Prabowo Subianto. Hingga akhirnya Jusuf Kalla yang memiliki elektabilitas dan pendanaan kuat yang diputuskan untuk bertarung.
Setelah menjadi presiden, status Jokowi sebagai 'anak tiri' PDIP mulai tercium. Saat pencalonan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri mendapat penolakan publik, PDIP terus memaksa Jokowi melantiknya. Mengabaikan suara masyarakat merupakan sikap politik yang tidak biasanya bagi PDIP yang selama ini dikenal pro rakyat.
PDIP seperti berupaya 'memisahkan' Jokowi dengan pendukungnya. PDIP seolah tidak peduli jika Budi Gunawan dilantik akan mengurangi kepercayaan masyarakat kepada kader terbaiknya itu. Saat Jokowi menolak melantik Budi Gunawan, PDIP beserta KIH terus bersikeras.
Disinilah Jokowi menepati janjinya, saat debat Capres dia berjanji tidak mau diintervensi Parpol pendukungnya. Didahului dengan penggalangan opini kalau Budi Gunawan bukan pilihannya, Jokowi membatalkan pelantikan Kapolri baru.
Opini publik pun terbentuk sesuai pesan Jokowi melalui 'celotehan' Safi'i Maarif, pertemuan Jokowi dengan Prabowo serta pernyataan Mensesneg Pratikno yang meminta Budi Gunawan mundur. Sebuah strategi politik yang halus dan 'klemar-klemer' ala Jokowi, tapi berdampak besar dan menjadi tamparan buat KIH terutama PDIP.
Dampaknya terlihat dari sentimen positif publik atas keputusan tersebut dan KIH mendapat sentimen negatif. Ini terlihat dari hasil Survey LSI yang menunjukan 70,29 persen publik mendukung keputusan Jokowi tidak melantik Budi Gunawan. Namun, Jokowi juga mendapat penilaian tidak tegas dari 55,65 persen responden.
Berbanding terbalik dengan Jokowi, KIH mendapat respon negatif dari publik. Hasil Survei LSI menunjukan 73,17 persen publik kecewa atas sikap KIH yang mendorong Presiden Jokowi melantik Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri.
Peneliti LSI Rully Akbar saat merilis hasil survei di Kantor LSI, Jakarta, Selasa (24/2/2015) menyebutkan, publik menilai KIH tidak sensitif dengan rasa keadilan publik dan hanya mementingkan kelompok mereka sendiri. Survey dilakukan pada 20-22 Februari 2015, dengan menggunakan metode quickpoll. Jumlah responden sebanyak 1200 dengan metode mulitistage random sampling. Margin of error plus minus 2,9 persen.