Sudah lama saya tidak memegang parang untuk mengupas kelapa yang akan dijual. Dulu saya pernah mengupas kelapa bersama 2 orang karyawan dan dibantu oleh adik-adik saya 1 truk penuh (kurang lebih 10rb butir) untuk dijual bungkilan karena harga kopra sedang naik-naiknya. Saya faham dan lancar-lancar saja mengikuti karyawan saya mengupas kelapa tersebut dan tidak kalah cepat dari mereka yang lebih sering mengerjakan pekerjaan itu. Saya tidak pernah memikirkan apa saja yang perlu untuk mengerjakannya karena sudah disiapkan oleh mereka.
Beberapa hari yang lalu setelah berhasil lagi mendapatkan salah satu kios dipasar tradisional, saya bertekad akan mengerjakan sendiri dulu semuanya untuk mengetahui kondisi pasar disana. Semua sudah dipersiapkan mulai dari parang, balok kayu dan tentunya parutan baru. Saya mulai berjualan sendiri dengan strategi yang telah ada selama ini. Kertas-kertas berisi iklan saya membuka kios disana pun ditempelkan dengan embel-embel tentunya untuk menarik minat konsumen. Hari pertama hanya terjual sedikit tapi saya tetap optimis dan tenaga saya juga masih belum terkuras. Hari kedua mulai 2 kali lipat dari hari pertama. Hari selanjutnya masih stagnan dan kemarin mulai peningkatan. Mulai terasa ternyata tidak segampang yang dulu mengupas 1 truk. Saya ternyata tidak memperhatikannya selama ini. Parang yang saya pergunakan ternyata terlalu tebal yang membuat kelapa yang saya kupas selalu gagal utuh. Pelanggan mulai menertawakan saya atas kejadian itu, tapi da juga yang berbaik hati mau mengupas sendiri kelapa yang dibelinya (saya yakin beliau mau karena harga ditempat saya jauh lebih murah dari tempat lain sih..).
Banyak kegagalan kelapa yang saya kupas dan terancam tidak dibeli pelanggan dan kerugian sudah didepan mata. Tapi bukan Sitanggang namanya jika tidak memiliki ide. Untuk menghindari kerugian kelapa saya parut dan saya bagi-bagi kedalam bungkusan-bungkusan dan saya tawarkan lebih murah kepada pelanggan dan akhirnya kerugian tidak terjadi. Mengapa hal itu terjadi..?
Akhirnya saya menyadari bukan karena keahlian saya dalam hal kelapa yang jadi penentu. Untuk mengetahui kwalitas kelapa dalam sekali sentil saya bisa mengetahui kelapa itu asli tua dari pohon atau dipaksa kelihatan tua dengan cara diangin-anginkan atau dijemur dibawah terik matahari. Saya juga bisa hafal ciri-ciri kelapa dari beberapa daerah, dan seperti saya katakan diatas saya juga lihai mengupas kelapa karena saya pernah mengupas sampai 1 truk hanya dengan dikerjakan beberapa orang. Ternyata setelah kelapa itu sudah ada lebih 3 hari setelah sampai digudang maka kelapa itu akan mudah pecah dan minimal langsung retak saat kelapa sudah setengah dikupas. Disinilah kegagalannya...
Ternyata bukan keahlian saya tentang kelapa,cara menjualnya yang baik dan pengalaman saya menaklukkan kelapa tersebut yang menentukan keberhasilan saya berjualan dan mendapatkan marketing position. Walau pernah menaklukkan kelapa 1 truk itu bukan jaminan saya ada dibenak konsumen. Walau parang saya tebal dan tajam (walau tidak setajam silet) bukan jaminan saya berhasil mengupas kelapa dengan baik dan hasilnya utuh tanpa pecah. Ternyata keahlian saya tertutup semua oleh sebuah aspek yakni parang yang saya pergunakan terlalu tebal dan terlalu besar.
Akhirnya siang kemarin saya langsung membeli parang yang baru yang lebih tipis dan lebih ringan dengan bengkokan diujungnya sebagai penyeimbang, itupun setelah saya mendapat pengarahan dari mantan pekerja saya yang selalu mau membantu saya dalam berbagai hal. Pagi tadi parang baru itu saya pergunakan dan anehnya entah pengaruh parang baru itu koq pembelinya ramai sekali (tapi saya sih gak percaya hal begituan hehehehe..). Sejak buka pembeli sudah mulai berdatangan dan dengan parang baru itu semua berhasil saya taklukkan tanpa ada yang pecah saat pengupasan. Pelanggan pun puas dan beberapa diantaranya menyarankan saya agar tidak menjual terlalu miring harganya dari pesaing karena dari fasilitas gratis parut saja sudah membuat konsumen akan lebih memilih saya daripada pesaing apalagi ditambah ketepatan saya memilih kwalitas yang mereka inginkan. Menurut mereka, katanya kompetitor saya disana ditengarai tega sampai menggunakan tenaga magis untuk menghambat pesaingnya (wah..untung kompetitor saya juga tidak menggunakan semua media elektronik dinegeri ini sebagai alat untuk menyaingi saya). Kini saatnya saya bersiap-siap ke tukang urut karena badan sya pegal-pegal semua. Eh..saya lupa memberitahu, Parang pertama itu tetap saya tempatkan di kios karena akan tetap saya butuhkan untuk mengupas sisa kulit kelapa yang tentunya membutuhkan parang yang agak berat agar kulit berserabut itu lebih mudah lepas dari kelapanya.
Apa hubungannya dengan pencapresan Dahlan Iskan..? Memangnya Dahlan Iskan harus berdagang kelapa dulu..? Ahahhahahahaha... tentu tidak demikian. Filosofi dari pengalaman saya ini yang berkaitan dengan pencapresan Dahlan Iskan adalah walau Dahlan Iskan selama ini kita tahu ahli dalam berbagai hal dan sangat pandai mengeksekusi permasalahan yang muncul tidak menjamin Dahlan Iskan ada dibenak rakyat Indonesia, karena beritanya saja tidak menggaung kemasyarakat. Hanya kita-kita yang melek teknologi yang tahu akan hal itu. Ibu-ibu yang lebih suka menonton YKS tidak akan tahu akan hal itu. OK lah..itu tugas kita sebagia Dahlanis. Bukankah kita sudah melakukannya selama ini..? Sepertinya parang yang dipergunakan Abah itu terlalu besar dan tebal, tapi tidak tepat dan yang parahnya parang itu gak tajam lagi alias sudah tumpul. Parangnya yang terlalu besar namun tumpul itu akhirnya hanya bisa menyelamatkan 9,70% saja. Sepertinya Dahlan Iskan perlu menambah sendiri parangnya yang walau lebih tipis dan ringan tapi tajam dan mampu membuat nama Dahlan Iskan ada dibenak pemilih seperti saya berusaha memasuki benak konsumen saya. Dengan parang yang tepat dan keahlian dan prestasi yang dimiliki Dahlan Iskan saya yakin beliau akan dapat dengan mudah memasuki lebih banyak benak rakyat Indonesia dan keberhasilan untuk jadi RI1 akan lebih mudah dan tidak terlalu menguras tenaga dan ribet lagi, sambil menanti takdir dari Tuhan pastinya...
—
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H