Mohon tunggu...
A. Husna
A. Husna Mohon Tunggu... -

Hanya ingin menuliskan "kisah kecil" tentang Pak Ustadz. (Bisa ditemui di \r\nhttp://petisikotbah.wordpress.com)\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Merindukan Kematian

8 Oktober 2010   05:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:37 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ia lari tergopoh-gopoh. Kakinya seperti diseret. Napasnya tersengal-sengal. Mang Jani, pria yang sudah tidak muda lagi. Pak Ustadz memperhatikan dari jauh. Ia menunggu karena Mang Jani seolah hendak mendatanginya. Ada apa gerangan? "Pak Ustadz! Pak Ustadz!" Mang Jani melambai-lambaikan tangannya. Pak Ustadz mendekat. "Ada apa, Mang?" "Fadli! Fadli, Pak Ustadz! Fadli meninggal...." Ucapan berduka langsung muncul dari bibir Pak Ustadz. Wajahnya menampakkan rasa terkejut yang luar biasa. Pikirannya langsung membayang kepada sesosok anak muda berkulit bersih dengan wajah yang tidak bisa dibilang jelek. Fadli, ya Fadli. "Tadi siang aku masih omong-omong dengannya setelah ia pulang dari kantor kepolisian. Katanya, mau mengurus surat kelakuan baik sebagai syarat kerja." "Iya, benar. Sepulang dari sana ia langsung rebahan dan tidur. Ternyata saat dibangunkan, dia sudah tidak bangun untuk selamanya. Sudah ya Pak Ustadz. Saya mau mengurus pemakamannya." Mang Jani pamit. Pak Ustadz mengangguk. Pak Ustadz berjanji hendak menyusul Mang Jani sesegera mungkin. Tapi, tiba-tiba saja benak dan hatinya seolah tak bisa lepas dari Fadli. Ah, Fadli! Anak muda yang merindukan kematian. Setiap ketemu Pak Ustadz tak ada topik pembicaraan yang begitu diminatinya selain kematian. Kematian! Ya, kematian! Pak Ustadz sampai bingung dengan sikap Fadli. "Apa kamu tidak lagi ingin hidup, Fadli?" "Oh, bukan begitu, Pak Ustadz. Saya mencintai kehidupan ini. Tapi, tak ada yang lebih saya cintai dan sangat saya rindukan, selain kematian. Masa lalu itu sangat jauh dari kita. Tapi, kematian itu sungguh sangat dekat. "Kenapa kamu bisa berpikir begitu?" "Setiap detik, setiap menit, kematian mengintai kita. Jujur, saya tidak ingin diintai oleh kematian. Saya juga tak mau menjadikan kematian sebagai musuh dalam selimut. Saya justru ingin bersahabat dengannya sehingga andai kematian datang, ia datang dengan senyum persahabatan yang tulus." Ah, apakah ini jawaban dari pertanyaan kenapa Fadli sangat rajin ke masjid akhir-akhir ini? Apakah ini juga jawaban mengapa Fadli begitu sangat sayang dan kasih kepada ibunya? Apakah ini jawaban kenapa Fadli tidak pernah menyakiti hati para tetangga, teman, sahabat, atau kerabat? Apakah ini jawaban mengapa Fadli tak pernah lelah membantu hamba yang kesusahan dan ditimpa kemalangan? Di rumah Fadli, Pak Ustadz melihat Fadli tersenyum. Benar tersenyum. Senyum dalam kematian. Ah, kematian yang dirindukan. Jelang senja itu. * * * Sumber gb: http://www.google.co.id/imglanding?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun