Mohon tunggu...
A. Husna
A. Husna Mohon Tunggu... -

Hanya ingin menuliskan "kisah kecil" tentang Pak Ustadz. (Bisa ditemui di \r\nhttp://petisikotbah.wordpress.com)\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Anak-anak Tuhan

23 September 2010   04:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:02 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Resepsi pernikahan. Di malam hari. Sendirian. Di gedung. Ah, selalu saja muncul perasaan galau. Entah apa dan dari mana datangnya. Pak Ustadz tidak tahu. Hanya, ia setiap kali berusaha melawannya, meski tak sampai memusnahkannya. Oh, ada! Seru Pak Ustadz dalam hati setelah melihat sebuah bangku kosong. Dengan membawa piring makanan Pak Ustadz menikmati sajian mewah yang tersedia. Cukup! Cukup! Pak Ustadz hanya mencukupi perutnya dengan kue puding, apel, klengkeng, dan salak pondok. Suara musik hiburan bergema di atas panggung. Para tamu memamerkan ribuan wajah. Bersliweran. Ketawa, canda, ceria. Sungguh, memang hari yang berbahagia. Tapi, tiba-tiba. Plak! Plak! Pak Ustadz terkejut. Lemparan benda asing menerpa tubuhnya. Kue puding! Ya, kue puding. Bercak kotor tampak di baju Pak Ustadz. Pak Ustadz melemparkan pandangannya. Dua anak lelaki berusia sekitar tujuh dan lima tahun tertawa terbahak-bahak. Mereka seperti tidak merasa bersalah. "Maaf, Pak. Maaf. Anak saya ini nakalnya memang minta ampun. Saya sampai malu dibuatnya. Tadi sudah menjatuhkan piring. Sekarang lempar-lemparan puding..." Seorang perempuan berpakaian istimewa mendatangi Pak Ustadz. Tangannya mencengkeram kedua anak lelakinya kuat-kuat. Wajahnya menampakkan ribuan perasaan. Marah, malu, jengkel, kecewa. "Ayo, duduk kalian! Diam di sini! Ingat, kalian tak boleh ke mana-mana! Di sini saja! Di sini!" Perempuan berpakaian istimewa itu menatap Pak Ustadz dengan perasaan amat bersalah. Berkali-kali bibirnya berucap maaf dan maaf. Keluhnya kemudian. "Saya sudah putus asa terhadap mereka berdua. Mereka benar-benar nakal. Aneh, ya Pak, kenapa saya bisa melahirkan anak-anak yang demikian nakal? Padahal, saya dan suami saya bukan termasuk orang-orang yang nakal, bahkan di waktu kecilnya." Perempuan berpakaian istimewa itu membela diri. Ia seperti tidak ingin menjadi tertuduh. Pak Ustadz tak menanggapi. Hanya diam. Perempuan itu terus melanjutkan ucapannya. "Saya tidak tahu salahnya di mana. Anak-anak sudah saya berikan fasilitas pendidikan yang terbaik. Sekolah terbaik. Guru terbaik. Teman dan lingkungan yang baik. Hasilnya..." Perempuan berpakaian istimewa itu melingkarkan dua jarinya sehingga membentuk angka nol. "Akhirnya, saya pasrah. Mungkin Tuhan memang telah memberikan saya anak-anak yang nakal." Kali ini Pak Ustadz tersenyum. Ia seperti memahami. Namun, Pak Ustadz tak bisa menahan bibirnya untuk berucap. "Maaf, ibu. Jangan salahkan anak-anak. Kasihan mereka. Mereka adalah anak-anak Tuhan. Karena anak-anak Tuhan, mungkin malah ibu dan suami ibu yang sejatinya bersalah. Sebab, siapa tahu ibu dan suami ibu yang justru lupa melibatkan Tuhan dalam proses pembuatannya...." Perempuan berpakaian istimewa itu tercenung mendengar perkataan Pak Ustadz. Keningnya berkerut. Wajahnya lalu tersenyum. Malu. Namun, sebelum perempuan itu membuka mulutnya kembali, Pak Ustadz telah terlebih dahulu mohon pamit. *** Sumber gambar: http://www.herdaily.com/blogimg/parenting/discipline.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun