Mohon tunggu...
Sigit Wahyu
Sigit Wahyu Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Editor Majalah Bobo & Kidnesia.Com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Inilah Jadwal Pasola 2015

22 Januari 2015   22:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:34 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari yang lalu, seorang kenalan saya di kampung adat Wainyapu, Sumba Barat Daya, mengirim sms. Dia mengabarkan, para tetua adat sudah bermusyawarah dan sudah menentukan tanggal diadakannya Pasola. Tidak lupa, dia juga mengirimkan jadwal Pasola 2015 yang akan diadakan di daerah Kecamatan Kodi.

Jadwal Pasola 2015

Berikut ini jadwalnya:  Desa Homba Kalayo (10 Februari 2015), Desa Bondo Kawango ( 13 Februari 2015), Desa Rara Winyo (14 Februari 2015). Sedangkan di Kecamatan Kodi Balaghar:  Desa Maliti Bondo Ate ( 11 Maret 2015), Desa Wai Ha (13 Maret 2015), Wainyapu ( 14 Maret 2015).

Selain di daerah Kodi, Pasola juga diadakan masyarakat adat di daerah  Wanokaka, Lamboya, dan Gaura. Sayangnya, saya tidak punya kenalan di daerah tersebut, sehingga saya tidak bisa sekalian memberikan jadwalnya.

[caption id="attachment_392809" align="alignright" width="300" caption="Pasola di Wainyapu, Sumba Barat Daya, Foto: Ricky Martin | BOBO"][/caption]

Pasola

Bagi traveller yang suka jalan-jalan ke kampung adat, Pasola mungkin sudah tak asing lagi. Namun, bagi yang masih awam, informasi tentang Pasola mungkin masih membingungkan.

Pasola adalah ritual perang yang dilakukan oleh masyarakat adat Sumba yang masih menganut agama lokal Marapu. Perang dilakukan di atas kuda dengan menggunakan senjata yang disebut sola.

Sola dalam bahasa Sumba adalah tongkat kayu yang digunakan untuk mengendalikan kuda. Sehingga “pasola” berarti perang sola yang dilakukan sambil berkuda.

Pada hari Pasola, kuda-kuda dari berbagai kampung dikumpulkan di lapangan untuk mengikuti Pasola. Peserta Pasola berkumpul dalam dua kubu. Uniknya, setiap peserta bebas memilih kubu yang diikuti.

Bisa jadi kubu satu lebih banyak pesertanya dibanding kubu lainnya. Namun, biar pun jumlahnya kecil, mereka tak pernah gentar menghadapi lawan meski jumlahnya banyak.

Saat menunggang kuda, peserta Pasola mengenakan pakaian tenun hinggi kombu yang diikatkan pada pinggul, dan mengenakan ikat kepala yang disebut hinggi kowaru.

Inti perang Pasola adalah melempar dan menangkis sola. Siapa yang akan diserang dan kapan harus menyerang lawan, terserah pada masing-masing peserta. Tidak ada yang memerintah. Juga, tidak ada yang memimpin.

Melampiaskan Dendam

Dalam perang Pasola, tidak ada yang kalah dan yang menang karena Pasola adalah ritual perang adat.  Dalam perang adat ini, peserta boleh melampiaskan dendam pribadi atau pun kelompok pada orang yang dibencinya. Terluka dan terpelanting dari kuda itu hal yang sangat biasa. Bahkan, seandainya terjadi hal terburuk sekali pun, mereka tidak boleh menuntut secara hukum.

Namun, saat Pasola itu usai, perasaan dendam itu harus selesai. Mereka percaya dengan melampiaskan dendam, berarti ia telah membuang sifat-sifat buruk di dalam hatinya.

Oleh sebab itu, ritual Pasola menjadi ritual rujuk kembali bagi orang atau kelompok yang bermusuhan. Dengan hidup tanpa dendam, mereka bisa kembali bekerjasama dan saling membantu.

Tahun Baru Marapu

Bagi masyarakat adat, Hari Pasola dianggap sebagai  hari raya tahun baru adat Marapu. Oleh sebab itu, pada Hari Pasola orang-orang pada mudik ke kampung adat untuk berkumpul dengan keluarga besar di rumah besar Uma Bokulu, melakukan ziarah ke Watu Rate atau makam leluhur, dan mengikuti ritual mencari nyale (sejenis cacing laut).

Pada Hari Pasola, kampung-kampung adat yang pada hari-hari biasa sepi, hari itu ramai sekali. Setiap  rumah besar tempat keluarga besar berkumpul  menyelenggarakan pesta adat dengan memotong banyak ayam atau babi.

Tamu Wajib Dijamu

Tahun 2011, ketika saya datang ke Sumba untuk menyaksikan Pasola, saya dan 2 turis asal Jepang menginap di salah satu rumah penduduk di kampung adat Wainyapu.  Ketika tuan rumah hendak menyiapkan makan malam untuk kami, tuan rumah memanggil saya untuk memotong ayam. Kata tuan rumah, kalau dia atau orang sini yang memotong ayam, dia khawatir nanti saya tidak mau makan karena ayamnya dipotong tidak dengan bismilah.

Tugas untuk memotong ayam dengan mengucap bismilah bagi saya tidak sekadar penghormatan tuan rumah buat saya.  Lebih dari itu, saya melihat masyarakat adat Sumba sangat menghargai keragaman itu.

Usai makan malam, saya ngobrol dengan masyarakat yang berkumpul di rumah besar.  Seorang tetua adat menanyakan pada saya, kenapa turis asal Jepang ini mau datang ke kampungnya untuk menyaksikan Pasola? Apakah mereka ini tidak takut pergi sampai ke pelosok begini?

Saya pun menjelaskan, adat dan budaya Sumba serta alam Sumba itu sangat unik dan menarik bagi orang luar. Sayangnya, informasi tentang Sumba itu sangat terbatas.  Oleh sebab itu, saya menyarankan kepada semua yang berkumpul untuk memberi tahu lewat sms kalau ada acara-acara adat yang besar. Seperti adat membuat makam dari batu raksasa, Pasola, membuat rumah adat, dan lainnya. Karena dengan memberi tahu orang luar daerah, informasi bisa menyebar dan siapa tahu ada turis yang tertarik mengunjunginya.

Obrol menarik yang kedua adalah ketika seorang tetua adat  menjelaskan kepada saya tentang kepercayaan Marapu yang mereka anut. Dalam kepercayaan Marapu, mereka sangat menjunjung tinggi nenek moyang. Sebab, hanya nenek moyang-lah yang bisa menyampaikan keinginan atau doa-donya kepada Tuhan sang pencipta alam semesta ini. Marapu atau nenek moyang adalah perantara antara manusia dan Tuhannya. Karena dalam kepercayaan Marapu, tidak pantas seorang manusia yang masih hidup di dunia ini berdoa langsung kepada Tuhannya. Hanya nenek moyang yang sudah wafat-lah yang pantas dan bisa berhubungan dengan tuhannya.

Sebelum istirahat tidur, sang tuan rumah memberitahu saya dan minta maaf karena besok tidak bisa menjamu saya karena besok pagi-pagi tuan rumah harus memotong beberapa babi untuk menjamu tamu-tamu yang datang.

Dan esoknya, saya pergi ke sebuah kedai untuk memesan mi instan rebus dan segelas kopi untuk sarapan. Namun, ketika saya hendak membayar, tuan rumah tidak mau menerima uang saya. Katanya, pada Hari Pasola, penganut Marapu tidak boleh melakukan transaksi jual beli. Mereka wajib menjamu tamu-tamu yang datang. Itulah keunikan Hari Pasola.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun