Mohon tunggu...
sigit sudibyo
sigit sudibyo Mohon Tunggu... -

Tak ada kata terlambat untuk memulai kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Negeri ‘Rubuh-rubuh Gedhang’

20 Januari 2015   17:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:45 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam terminologi masyarakat Islam di Jawa, ketika seorang anak sedang belajar sholat, maka sholatnya dikatakan ‘rubuh-rubuh gedhang’ (seperti pohon pisang ambruk). Artinya ia baru sebatas mengikuti gerakan sholat, tapi belum mengetahui bacaan apalagi maknanya. Karenanya dalam fase itu, apapun yang dilakukan si anak, akan dimaklumi sebagai sebuah proses pembelajaran beragama.

Dalam fase itu, awalnya anak hanya sekedar menirukan gerakan. Kemudian setahap demi setahap mulai diajarkan mengenai gerakan yang benar, syarat dan rukun, hingga bacaannya. Sampai kemudian ditanamkan makna bacaan maupun gerakan sholat. Dan seiring dengan kedewasaan beragama, semestinya sholat yang semula ‘rubuh-rubuh gedhang’ itu, menjelma menjadi sebuah interaksi spiritual antara makhluk dan sang Khalik. Sehingga sholat menjadi salah satu ritual yang mampu menuntunnya menuju jalan Tuhan, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.

Namun kalau kita korelasikan dengan kondisi aktual saat ini, fenomena sholat ‘rubuh-rubuh gedhang’ tampaknya justru semakin marak terjadi di salah satu negara muslim terbesar di dunia yang bernama Indonesia. Bedanya, kalau ‘rubuh-rubuh gedhang’ dalam terminologi terdahulu itu merupakan bagian dari sebuah proses mencari ilmu, sementara yang terjadi sekarang ini justru pengkhianatan terhadap ilmu. Karena seseorang sudah bisa melaksanakan sholat, fasih bacaannya, tahu maknanya, namun tidak mengimplementasikan bahkan mengingkarinya.

Fenomena ‘rubuh-rubuh gedhang’ itu memang tidak bisa kita lihat secara kasat mata. Karena realitas empirik menunjukkan betapa ghiroh keagamaan tampak begitu kental di tengah masyarakat kita. Dalam keseharian kita bisa menyaksikan bagaimana masyarakat muslim berbondong-bondong ke masjid dan mushola untuk menunaikan sholat fardu. Apalagi pada waktu shalat Jum’at, jamaah masjid sering meluber ke halaman bahkan jalanan depan masjid. Mereka terlihat kusyu’ dalam beribadah.

Kenyataan itu akan berbalik seratus delapan puluh derajat, apabila dikorelasikan dengan banyaknya pelanggaran hukum dan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai moral keagamaan di negeri ini. Tindak kekerasan dan kriminalitas menjadi menu berita sehari-hari, konflik horisontal terjadi di mana-mana. Korupsi dan perzinaan menjadi tontonan publik, termasuk yang melibatkan tokoh-tokoh partai politik berhaluan agama.

Hal ini sungguh bertentangan dengan firman Allah SWT. “Dan tegakkanlah olehmu sholat. Sesungguhnya sholat itu mencegah perbuatan keji dan munkar, dan  sesungguhnya  dzikir kepada Alloh itu lebih besar (keutamaan dan pengaruhnya bagi setiap pribadi insan), dan Alloh Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakannya. (Q.S. 29 Al ‘Ankabut : 45).

Mengapa di negeri yang sebagian besar beragama Islam dan melaksanakan sholat itu, justru marak tindak kejahatan kemanusiaan? Salah satu sebabnya adalah karena sholatnya hanya ‘rubuh-rubuh gedhang’. Mereka melaksanakan sholat tapi tidak menegakkannya, sehingga sholat hanya menjadi sebuah ritual untuk menggugurkan kewajiban semata atau agar tidak terkena dosa.

Akibat dari sholat yang hanya ‘rubuh-rubuh gedhang’ itu, maka ayat-ayat yang dibaca dan gerakan-gerakan yang dilakukan, tidak mampu menyertakan kalbu. Dan karena tidak mencapai kalbu, maka tidak terjalin komunikasi dengan sang Khalik. Kegagalan komunikasi itu juga membuat nilai dan makna yang terkandung dalam sholat tidak dapat terimplementasikan dalam sikap dan perilaku keseharian.

Inilah yang nampaknya belum disadari oleh sebagian besar umat muslim. Mereka beranggapan kalau sudah melaksanakan sholat, maka sudah dianggap sah sebagai seorang muslim. Akibatnya, muncul adagium STMJ alias sholat terus maksiat jalan. Sholat tetap dilaksanakan, tetapi tak pernah mampu mencegah perbuatan keji dan munkar. Dan kalau kondisi seperti itu terus terjadi, bukan tidak mungkin akan menjadi sebuah pembusukan agama.

Sungguh tidak gampang menegakkan sholat, terlebih apabila hanya dilandasi niat memposisikan sholat sebagai sebuah kewajiban agama. Menegakkan sholat semestinya merupakan sebuah proses pembelajaran tiada henti menuju kesempurnaan ibadah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun