Mohon tunggu...
Sigit Soebroto
Sigit Soebroto Mohon Tunggu... -

"Alon-Alon Asal Klakon"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Fabel Demonstrasi: si Buya Menunggu si Kancil

9 April 2010   09:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:54 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fase proses ber-demokratisasi masyarakat Indonesia mulai memasuki babak baru. Menjadi sangat penting penulis mengatakan hal ini karena norma etika menyampaikan pendapat masyarakat dewasa ini tidak lagi menggunakan pakem lama. tidak perlu ada massa besar, orasi yang berlebihan sampai suara serak dan segala perlengkapan aksi lainnya. Proses asosiasi pendapat dan kritik saat ini lebih bisa dilakukan dengan memakai seekor binantang. Simbol binatang bisa mewakili kegundahan dan kegeraman para pendemo kepada elit yang di demo. Walau terkesan tidak lazim, proses demonstrasi unik ini mendapat ruang baru dari media nasional dan daerah. Konten tuntutan kadang lebih tersampaikan karena bantuan media. Plesetan atau parodi politik yang ada di televisi juga memasukkan isue ini untuk materi acara.

Di masyarakat sendiri ada yang pro dan kontra. Bagi yang pro, ini ssalah satu alternatif katub penyampaian pendapat di ruang pablik. Selain efektif, demo juga menjadi sarana untuk ajang kreativitas. Pihak yang kontra, jelas alasan utama terkait dengan etika dan norma. Tidak ada yang salah dengan pendapat ini karena mengkritik sejatinya juga harus dilakukan dengan santun dan elegan. Ini juga menjadi cermin kalau bangsa ini bukan hanya berdemokrasi dalam tataran ideologi semata, tapi dalam praktiknya, ruang publik juga harus digunakan untuk wahana pembelajaran etika.

"Curhatnya" presiden SBY mungkin bentuk kekecewaan dan sekaligus koreksi mengenai fenomena ini. Tanggapan yang disampaikan presiden juga sah-sah jika pernyataannya demi menyelamatkan demokrasi Indonesia. Tapi, mungkin jika Kerbau si "Buya" tidak dibawa dalam aksi unjuk rasa, pesan yang ingin disampaikan kepada presiden tidak akan sampai. kalaupun sampai, mungkin hanya samar-samar.

Kasus kerbau si "Buya" memang terlihat unik. menjadi unik karena presiden merasa tidak terima jika dirinya diasosiasikan seperti si "Buya". Besar, bodoh, dan lambat menjadi citra si "Buya". Mendengar curhat yang dipandang tidak perlu, sebagian kalangan menyuruh SBY agar fokus saja memikirkan urusan negara yang sudah ruwet ketimbang curhat dengan hal yang tidak perlu. Bukan kali ini saja Pak Presiden curhat. Lawan politiknya berpandangan resiko menjadi presiden memang berat. Jika tidak sanggup, lebih baik mundur.

Di tempat lain, tepatnya di depan gedung KPK, sekelompok pengunjuk rasa memberikan seekor ayam dan topeng dada (baca Bra) kepada perwakilan KPK. Pesan yang ingin disampaikan di sini adalah bahwa KPK jangan banci mengurus kasus-kasus mafia peradilan. Motifnya sama dengan kasus si "Buya". Menggunakan media massa untuk katalis penyampaian tuntutan kepada khalayak yang lebih luas. Kisruh bank Century juga memberikan ruang apresiasi bagi pengunjuk rasa untuk menyertakan seekor kambing dalam barisan terdepan. Pejabat yang dinilai bertanggung jawab diasosiakan melalui topeng wajah yang diletakkan di tanduk kambing.

Fenomena ini bukan tidak mungkin menjadi tren, sekaligus alat untuk mengkomunikasikan kegundahan hati orang-orang yang tidak puas kepada kinerja pemerintah. Sepanjang masih dalam batas toleran, masyarakat pasti sepakat dengan ide-ide kreatif dalam melakukan unjuk rasa. Sah-saha saja pemerintah memandang fenomena si "Buya" dan bentuk asosiasi lainnya sebagai bentuk pelanggaran etika karena negara ini memang mengatur keberatan ini.

Namun, etika dan fatsun politik yang santun semestinya juga dipahami dan dipakai dalam membuat kebijakan-kebijakan negara. Ditengah mahalnya biaya hidup serta disparitas kemakmuran, alih-alih pemerintah berencana menaikkan gaji pejabat negara. Lalu dimana letak etika itu harus diletakkan? Kita tidak ingin etika berdemonstrasi itu hanya berlaku ketika unjuk rasa berlangsung. Kita juga ingin etika politk juga dipakai dalam mendemonstrasikan kenegarawanan pejabat ketika membuat kebijakan. Mungkin kegeraman presiden tentang si "Buya" dengan kenaikan gaji pejabat sebagai hal yang kontradiktif.

Semakin kreatifnya masyarakat dalam menyampaikan aspirasi melalui binatang mungkin akan menghasilkan cerita demokrasi fabel. Demokrasi yang penuh ekspresif tanpa perlu kepura-puraan. Binantang adalah makhluk yang dapat diasosiasikan dalam banyak makna. Fenomena ini juga menjadi fase demokratisasi bangsa ini, khususnya dalam mengekekspresikan kebebasan berpendapat. Terkhir, jika ada demonstrasi menyangkut kasus korupsi, semoga yang dibawa tidak hanya ayam, tapi juga si kancil. Si kancil sekarang sudah tumbuh besar dan tidak lagi nyolong timun. Si Kancil yang sekarang sudah berani nyolong uang negara tanpa tedeng aleng-aleng...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun