Cibinong – Jogja.
Perjalanan pulang kampong kali ini (Jum’at, 4 Desember) terasa kental dengan aroma ‘Jawa’. Sepanjang perjalanan di dalam bus malam ‘RI’, hingga pukul 20.00, saya kenyang dihibur oleh grup campur sari dari Sragen dan Karanganyar melalui tayangan layar monitor video, selain campur sari juga ada sajian tembang tembang ciptaan Ki Nartosabdo yang dibawakan oleh tujuh orang pesinden secara bergantian. Ada sebuah tembang yang sangat saya hapal tentang ‘gotong royong’ (lagu pembuka acara ‘Mbangun Desa di TVRI Jogja), yang secara otomatis membuat saya ikut menembang. Walaupun masih di Jakarta, namun saya sudah merasa suasana seperti di Jawa ketika berada di dalam bus malam tersebut.
Jogjakarta.
Minggu pagi, 6 Desember, saya sekeluarga berangkat ke lokasi wisata yang merupakan tempat pengamatan Gunung Merapi, bernama: ‘Ketep’. Kami menuju ke Ketep setelah sebelumnya mampir di Kota Magelang. Jalur menuju ke Ketep kami lalui melalui belokan di wilayah Blabak, antara Magelang dan Muntilan. Setelah belok ke kiri kami melaju melewati jalur jalan cor beton datar. Pemandangan kiri kanan merupakan sawah menghijau yang menyegarkan. Beberapa kilometer kemudian jalur mulai menanjak. Hal yang membuat saya kagum adalah proyek pengecoran jalan ternyata juga menjangkau kawasan tanjakan menuju ke lokasi wisata. Bukti bahwa Pemda setempat sangat memberikan perhatian untuk memudahkan wisatawan yang hendak menuju ke lokasi wisata, selain juga untuk jalur pengungsian warga bila terulang kembali bencana letusan Merapi.
Tiba di lokasi Ketep, cuaca mendung masih menggantung seperti saat kami berangkat dari Jogja. Raksasa Gunung Merapi tidak dapat di lihat sama sekali karena tertutup kabut. Padahal sosok gunung berapi itu tepat berada di depan mata. Saya hanya bisa melihat jelas pemandangan di lembah gunung tersebut. Kami sekeluarga masih sempat menonton rekaman bencana letusan Merapi yang terjadi pada bulan Oktober 2010, di gedung theater mini, yang merupakan pelengkap obyek wisata Ketep. Setelah puas duduk-duduk mengobrol , kami beranjak menuju ke deretan warung di depan tempat parker mobil untuk menikmati jajanan jagung bakar dan tempe mendoan.
"Pemandangan lereng Merapi dari pos pengamatan Ketep."
Kami lalu pulang menuju ke Jogja. Ketika sampai di Sleman kendaraan kami belokkan ke kanan menuju ke arah Godean. Kami bermaksud makan siang di restoran Sunda ‘Mang Engking’. Suasana persawahan menghijau kali sungguh-sungguh mendominasi pemandangan sepanjang perjalanan kami. Meskipun saya puluhan tahun tinggal di Jogja namun baru kali inilah saya merasakan kesejukan dan kehijauan kawasan Godean yang masih termasuk dalam wilayah Kabupaten Sleman. Hujan kembali mengguyur lokasi restaurant tempat kami makan siang yang terletak jauh di pelosok kampong, tepatnya di tengah areal persawahan. Sebagaimana halnya ciri khas restaurant Sunda yang menyajikan suasana makan ala pedesaan Parahiyangan, kami makan sambil duduk di saung yang berada di atas permukaan danau buatan nan luas. Padi yang menghijau di sekitar restaurant dan cuaca mendung membuat saya makan dengan lahap.
Setelah selesai makan, kami pulang. Dalam perjalanan saya mengusulkan untuk mampir ke rumah mantan Presiden Suharto yang berada di Dusun Kemusuk, Desa Argomulya, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul. Alasan saya untuk mampir adalah: Saya belum pernah sekalipun melihat rumah tempat Bapak Suharto dilahirkan serta sangat ingin tahu kondisi bentuk bangunan rumahnya.
Suasana rumah pak Harto sore itu terlihat sepi. Beberapa tukang bangunan terlihat sedang duduk mengobrol di pendapa. Kami berenam masuk ke area rumah lalu berfoto-foto dan duduk -duduk di kursi yang tersedia di emperan bangunan utama (di belakang pendapa). Kini rumah tersebut telah kosong dan dijadikan sebagai monumen yang dilengkapi informasi sejarah tentang perjalanan hidup pak Harto sejak masih menjadi prajurit pejuang kemerdekaan hingga menjabat sebagai Presiden RI ke-2.