Mohon tunggu...
Sigit Priyadi
Sigit Priyadi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Padang rumput hijau, sepi, bersih, sapi merumput, segar, windmill, tubuh basah oleh keringat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Istiqlal Kini Berkurang Wibawanya

15 Februari 2017   11:58 Diperbarui: 15 Februari 2017   12:28 1059
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Baru-baru ini aksi ‘112’ dilangsungkan di dalam mesjid Istiqlal. Kegiatan do’a bersama dan pidato ceramah dilakukan silih berganti oleh beberapa pimpinan pondok pesantren, politikus, dan ketua ormas Islam. Saya sengaja menonton acara tersebut dari pagi hari hingga siang hari, dalam siaran langsung melalui sebuah saluran TV swasta. Semua pembicara terlihat berpidato dengan penuh semangat. Isi pidato sebagian besar menyangkut kekhawatiran bila hasil Pilkada DKI dimenangkan oleh salah seorang Paslon tertentu.

Berbeda dengan pidato acara perayaan Maulid Nabi yang diselenggarakan secara resmi oleh staf Kepresidenan, dalama acara aksi ‘112’ kemarin posisi penceramah dan jemaah berbaur tanpa jarak dan pembatas. Pakaian serba putih juga menjadi pembeda yang sangat mencolok. Seorang peserta yang memakai batik malah menjadi pemandangan’ganjil’ dalam kerumunan jemaah berbaju serba putih.

Mesjid Itiqlal yang menjadi salah satu ‘icon’ ibukota Negara Republik Indonesia kini telah mengalami perubahan fungsi. Bangunan ibadah  yang digagas oleh Presiden Sukarno tersebut tidak lagi sebagai mesjid milik negara yang menurut pandangan saya tidak boleh digunakan untuk sembarang kegiatan, apalagi untuk ceramah dan pidato politik. Seingat saya, ceramah-ceramah keagamaan di mesjid negara tersebut selalu dilangsungkan dalam format resmi yang sangat terjaga materinya. Tentu tidak boleh sembarang orang boleh memberikan ceramah hari besar Islam maupun khotbah Jum'at. Mereka tentu merupakan pemuka agama yang sangat terpilih. 

Pengalaman diri saya yakni ketika pertama kali saya menginjakkan kaki di mesjid Istiqlal, untuk sholat Jum’at, pada masa pemerintahan Orba, ada perasaan takjub berada di dalamnya. Karpetnya tebal dan lembut, sehingga saya merasa was-was khawatir bila telapak kaki saya yang basah akan mengotori karpet itu. Udara sejuk yang memancar dari air conditioner yang berdiri di sudut-sudut bangunan. Sejak dulu hingga kini Istiqlal setahu saya tetap menjadi tempat beribadah pilihan umat Islam di Jakarta serta merupakan obyek tujuan wisata bagi para wisatawan daerah yang baru pertama kali datang ke Jakarta. Hal yang wajar sebab bangunan ibadah umat Islam tersebut dibangun oleh Presiden Sukarno melalui proses pemikiran yang mendalam, sebagaimana monument-monumen lain di Jakarta.

Penyelenggaraan aksi 112 dilangsungkan di dalam mesjid Istiqlal belum lama ini tampaknya menjadi awal dari bergesernya fungsi mesjid tersebut yang serupa dengan mesjid kampong, sebagaiman mesjid-mesjid lain di ibu kota (Jakarta). Pidato-pidato politik yang disampaikan oleh sejumlah Kyai dan ustadz dari pendukung Ormas tertentu, sejak pagi hari hingga menjelang adzan Dzuhur, telah mengurangi penilaian saya terhadap Istiqlal. Istiqlal tidak lagi merupakan mesjid kebanggan yang seharusnya menjaga aturan sebagai tempat ibadah terhormat, khususnya bagi warga negara muslim Indonesia. Saya masih bisa mengatakan bahwa mesjid At Tien di TMII adalah mesjid di ibukota yang masih mempunyai aura resmi. Kebetulan mesjid tersebut selain megah juga merupakan mesjid peninggalan penguasa Orde Baru.

Semoga para pengurus Dewan Kemakmuran Mesjid Istiqlal bisa mengembalikan 'roh' mesjid yang menjadi tanggung jawabnya sebagaimana seharusnya. Apalagi dalam beberapa hari mendatang mesjid ini akan merayakan ulang tahun peresmiannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun