Tulisan ini hanya merupakan pengalaman sesaat setelah saya usai menghadiri acara hajatan pernikahan anak teman saya sekantor, yang letaknya tak jauh dari Kebun Raya. Setelah mengganti baju batik di musholla, saya lalu berjalan kaki menuju pusat Kota Bogor, yakni Kebun Raya. Jalur jalan lebar (Jalan Pajajaran) di depan Terminal Baranang Siang membuat diri saya kebingungan ketika hendak menyeberang. Lalu lintas kendaraan roda dua dan empat pada hari Minggu siang saat itu sangat ramai.Â
Setelah menyeberang jalan, saya menuju pertigaan Tugu Kujang. Sebelumnya saya melewati Terminal Bus Baranang Siang. Saya amati kondisi terminal utama Kota Bogor itu masih tetap sama keadaannya sejak saya mengenal Bogor, 25 tahun yang lampau. Beberapa pedagang asinan dan toko oleh-oleh makanan khas Bogor menghiasi kawasan kiri jalan searah langkah saya menuju Tugu Kujang.Â
Deretan tiang lampu yang dibentuk menyerupai senjata 'kujang' (senjata tajam khas Jawa Barat) berwarna kuning tua berdiri tegak dalam jarak tertentu. Tujuan menyatukan bentuk senjata Kujang dan lampu hias itu mungkin untuk memperlihatkan kekhasan Kota Bogor sebagai pusat Kerajaan Siliwangi. Namun, saya amati lebih dekat 'tiang listrik' itu seperti pemaksaan desain, selain pengerjaan yang kurang rapi pada pengelasan tiang lampu dan lempengan senjata Kujang.
Saya lalu menyeberang jalan menuju trotoar yang mengelilingi area Kebun Raya. Cuaca siang itu sangat panas sehingga situasi trotoar sepi. Saya hanya berpapasan dengan sedikit pejalan kaki. Beberapa meter kemudian saya melihat sebuah bangunan tingkat tiga yang terlihat kusam di seberang kiri. Bangunan itu bertuliskan Ramayana. Jalan di dekatnya tampak kumuh dan becek.Â
Sesampainya di depan Kantor Balaikota Bogor, saya menyeberang jalan raya, lalu melanjutkan penyusuran trotoar di seberang Istana Bogor yang berada di dalam area Kebun Raya. Suasana di trotoar seberang Kebun Raya justru terasa sejuk dan teduh karena naungan sejumlah pohon raksasa warisan zaman Belanda yang masih tegak berdiri hingga kini. Beberapa kereta bendi diparkir di tepi jalan menunggu penumpang yang ingin berwisata mengelilingi Kebun Raya melewati jalan raya di sekelilingnya.
Bogor, kelihatannya mencoba menjadi kota belanja sebagaimana kota-kota lain di dekat Jakarta. Namun, keterbatasan luas wilayah dan warisan kehijauan kota yang dirancang oleh Belanda membuatnya jadi tidak cocok bila dipaksa untuk diisi bangunan-bangunan bertingkat, apalagi yang dipenuhi material kaca. Sebaiknya Bogor tetap mempertahankan kekhasannya sebagai kota hijau yang tetap mengesankan 'kampung'. Kelembapan dan kesejukan kota, adalah kondisi yang menarik bagi saya saat berkunjung ke Bogor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H