Tradisi upacara pernikahan tentu memilki kesan mendalam bagi para undangan, apalagi bagi warga negara asing. Peristiwa sacral dalam pernikahan ditandai dengan ucapan akad nikah yang dilakukan oleh orang tua laki-laki sang mempelai perempuan kepada  mempelai laki-laki , dengan disaksikan oleh mempelai perempuan dan  saksi-saksi dari kedua belah pihak, dibawah pengaturan seorang hakim nikah laki-laki. Proses upacara pernikahan akan dilanjutkan dengan berbagai cara, diantaranya:  mempertemukan kedua mempelai lalu dilanjutkan dengan jalan berdampingan menuju ke pelaminan. Semuanya terlihat agung sebagaimana tujuan pernikahan itu sendiri, yakni untuk menyatukan tekad membentuk sebuah keluarga yang dicita-citakan sesuai agama yang dianutnya, melanjutkan keturunan, serta memperluas ikatan keluarga. Sebuah prosesi yang khas dilakukan oleh kalangan militer sempat saya saksikan dalam upacara pernikahan yang saya hadiri beberapa hari yang lalu, di Magelang. Upacara yang dilakukan oleh para taruna 'Akademi Militer (Akmil)' tersebut baru pertama kali ini saya saksikan. Makna dari pelepasan para taruna terhadap seniornya yang telah membina kehidupan rumah tangga itu diberi nama: 'Ponyard Pora'. Urutan prosesi ala militer tersebut tampak meniadakan prosesi tradisional yang biasa dilakukan oleh mempelai dari kalangan sipil. Mungkin bila kedua mempelai hendak menyelenggarakan upacara pernikahan secara tradisional, mereka harus melakukannya setelah prosesi ala militer. Setidaknya seperti itu yang saya saksikan kemarin. Prosesi 'Ponyard Pora' ditandai dengan satu peleton drumband Akabri Darat yang berdiri saling berhadapan di sepanjang karpet merah. Pada barisan dekat dekat pintu masuk berdiri empat pasang pemegang alat music drum. Pakaian para pemegang drum tersebut berupa baju terusan loreng kamuflase yang sekilas mirip baju loreng 'Kopassus' serta baju loreng tentara Belanda ketika mendarat di Indonesia menghadapi gerilyawan Republik. Tak ketinggalan kepala harimau dan kulit loreng hewan langka yang hampir punah dari hutan Sumatra juga bertengger di kepala para penabuh drum tersebut. Kemungkinan besar kulit hewan harimau dan macan tutul tersebut telah digunakan selama puluhan tahun sejak terbentuknya grup drumband Akabri tersebut. Ketika masih anak-anak saya mengingat diri saya sempat ketakutan melihat para penabuh drum berpakaian harimau tersebut melakukan atraksi meliuk-likukan badannya sambil menahan drum di dadanya dan melakukan atraksinya secara energik, ketika mereka berdefile di jalan Malioboro. [caption id="attachment_187373" align="aligncenter" width="300" caption="Macan Tidar, penabuh "][/caption] [caption id="attachment_187380" align="aligncenter" width="300" caption="Sang mayorette. Sosok taruna terjangkung."]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H