Magelang, kota tempat pendidikan bagi para taruna Akademi Militer. Kota yang berhawa sejuk, terletak dipertengahan antara ruas jalan Semarang - Jogja. Kota yang telah puluhan tahun tidak lagi saya kunjungi. Sebuah kenangan pernah singgah dalam ingatan saya, ketika tahun 1980-an saya sempat menginap beberapa malam di mess Progo, dalam kawasan kompleks 'Akademi Militer'. Suasana yang sama masih tetap saya rasakan, meskipun telah puluhan tahun yang silam, saya tidak lagi menginjakkan kawasan tersebut. Kabut masih tetap memayungi ruas jalan Gatoto Subroto. Sementara bangunan-bangunan militer yang dibangun pada tahun 1960-an masih tetap kokoh tegak berdiri dengan gagahnya. Saya datang kembali ke 'Kota gethuk', sebutan khas bagi Magelang, dalam rangka menghadiri pernikahan adik sepupu saya. Suatu kebanggaan tersendiri dapat menyaksikan pernikahan yang dilangsungkan dalam tradisi militer 'Ponyard Pora'. Upacara pernikahan dan resepsi berlangsung di gedung Abdul Haris Nasution, sejak pukul 10.30 hingga pukul 14.00. Kebahagian terpancar dari kedua mempelai serta para undangan keluarga yang hadir. Setelah selesai mengikuti prosesi pernikahan, saya pulang menuju ke Jogja. Namun sebelum perjalanan meninggalkan kota Magelang saya menyempatkan untuk mengunjungi obyek wisata, bernama: 'Kyai Langgeng', yang berada di tepi kota, berdekatan dengan sungai Progo. Obyek wisata 'Kyai Langgeng' merupakan tanah lembah yang didesain dengan lansekap taman wisata. Suasananya sangat sejuk, dengan hiasan patung dinosaurus, kolam renang, perahu bermain, kebon binatang mini, dan joglo untuk acara keluarga. Sebuah lokasi wisata yang tidak terlalu luas namun dapat menjadi oase bagi warga Magelang dan kota-kota disekitarnya untuk menemani anak-anaknya berekreasi. Satu hal yang paling menarik perhatian saya saat kemarin memasuki lokasi obyek wisata 'Kyai Langgeng', adalah: sesosok pesawat penumpang jet berukuran sedang yang dipajang dekat dengan pintu keluar. Pesawat jet tersebut langsung membuka memori saya terhadap armada maskapai penerbangan nasional 'Garuda Indonesian Airways' di era 1980-an, ketika saya sempat melihat sosok pesawat itu dalam jarak pandang paling dekat, yakni ketika saya melihatnya melakukan landing dan take- off di Bandar udara Ahmad Yani, Semarang. Ketika itu saya melihat pesawat tersebut masih dibalut warna merah oranye dan logo 'GIA' yang asli. Penerbangan menggunakan pesawat jet pada masa itu juga masih merupakan 'barang mewah' bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Selain mahal, maskapai yang melayani penerbangan juga hanya beberapa, selain GIA, yakni: MNA dan penerbangan perintis. Pesawat Fokker F-28, buatan pabrik pesawat terbang penumpang Fokker, Belanda, disamping pesawat DC-9, buatan pabrik Mc Donnel Douglass, Amerika, merupakan tulang punggung maskapai GIA yang paling mudah dihapal dan mengukir sejarah penerbangan pesawat komersial jet domestic di angkasa Indonesia. 'Apakah F-28 masih digunakan pada masa sekarang?'. Yang jelas saya tidak pernah lagi mendengar kiprahnya di tengah-tengah modernisasi armada pesawat maskapai-maskapai baru yang bermunculan di tanah air. Pesawat terbang jet saat ini lebih didominasi oleh perusahaan Boeing, dengan seri yang sangat banyak sehingga sulit dihapalkan. Sosok F-28 yang 'nyasar' berada di lembah 'Kyai Langgeng' berwarna putih dengan tulisan 'Kyai Langgeng Airlines'. Nama maskapai yang tidak dikenal di Indonesia. Bahkan Magelang sekalipun tidak memiliki Bandar udara penerbangan. Namun aneh bila terbersit ide memajang pesawat penumpang jet di tempat tersebut. Meskipun tampak aneh bagi saya (biasanya pesawat yang dipajang adalah pesawat latih milik TNI AU bermesin baling-baling atau paling besar adalah pesawat penumpang bermesin baling-baling: DC-3 'Dakota'), namun ide tersebut sangat bagus untuk menambah pengetahuan penerbangan bagi warga Magelang. Penyajian pesawat F-28 juga sangat spektakuler (untuk ukuran kota kecil Magelang). Pesawat diletakkan di atas ketinggian tanah, dengan jarak satu meter. Kemudian untuk menciptakan suasana mirip Bandar udara, di bawah badan pesawat diletakkan seperangkat 'Loud speaker' yang mengeluarkan bunyi desingan mesin jet pesawat tatkala hendak take -off. Suara menggelegar terdengar di telinga saya dalam jarak seratus meter dari sosok pesawat. Sungguh-sungguh suasana yang menggetarkan. Saya langsung teringat dengan musibah SSJ 100 yang belum lama ini terjadi di Gunung Salak, Bogor. Bukti kenangan itu terwujud tatkala ada seorang pengunjung yang berkomentar: "Pak, jangan menabrak gunung ya !", ketika saya sedang duduk merasakan suasana 'cockpit' pesawat yang sangat sempit. Saya tersenyum pahit menanggapi celetukan bapak yang berada di pintu pembatas antara kabin penumpang dan cockpit pilot sambil menjaga anak balitanya yang duduk di kursi sebelah saya. [caption id="attachment_187284" align="aligncenter" width="365" caption="Roda pendarat."][/caption] [caption id="attachment_187285" align="aligncenter" width="358" caption="Penulis hendak masuk pintu."]












Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI