Perjalanan balik ke Cileungsi seusai mudik, kali ini terasa sangat berat dan lama. Saya memang tidak sendirian sebab banyak pula para pemudik yang mengalami hal yang sama. Perjalanan balik saya dan keluarga, istri dan tiga orang anak, saya mulai dari agen bus Ramayana di perempatan Dongkelan, pada hari Senin sore.
Pukul 15.00 sebuah bus kelas eksekutif datang mendekati agen dipinggir jalan tempat saya dan penumpang lainnya menunggu. Saya diberitahu oleh petugas agen penjual tiket bahwa saya harus menaiki bus tersebut untuk sementara waktu hingga sampai di terminal Muntilan, kemudian nantinya dipindahkan ke bus yang sesuai dengan tujuan saya. Saya menuruti saja ketentuan tersebut. Saya lalu naik di bus kelas eksekutif yang terasa lega dan nyaman. Lumayan bagi saya yang seumur-umur belum pernah duduk di bus kelas eksekutif. Saya lihat anak-anak saya sangat bergembira. Mereka mengira bahwa bus itu yang akan membawa kami sampai ke tujuan akhir. Satu jam kemudian perjalanan saya telah sampai di terminal Muntilan. Kami lalu turun dan mencari bus seri 'D' tujuan Cileungsi. Namun ternyata bus tersebut belum ada, sehingga saya sekeluarga dan sejumlah penumpang lainnya dengan jurusan berbeda-beda harus duduk menunggu hingga bus yang dimaksudkan datang.
Pukul 19.30, bus Ramayana seri 'D' datang memasuki terminal. Terhitung telah 3 jam 30 menit saya duduk di depan agen bus. Meskipun lama menunggu namun anak-anak saya tampak tenang. Si kecil yang masih berumur 17 bulan juga tidak rewel. Saya juga memanfaatan waktu menunggu bus untuk makan bekal nasi gudheg dan sholat Maghrib- Isyak di Musholla milik agen bus.
Tidak lama kemudian setelah terisi penuh, bus yang saya tunggu berangkat menuju ke arah Utara (kota Semarang). Sesampainya di terminal Secang (kota Magelang), bus menambah penumpang, kemudian berangkat kembali. Namun tidak seperti biasanya, bus itu kembali ke arah semula. Saya menyimpulkan bahwa bus-bus jalur Utara mungkin memang dilarang untuk melewati jembatan sungai Comal yang amblas seminggu sebelum hari 'H' Lebaran, sehingga bus yang saya naiki terpaksa menuju ke jalur Selatan (Purworejo - Kutoardjo - Kebumen- Gombong).
Saya tidak mengetahui jalur jalan yang dilalui selepas kota Secang, sebab saya lalu tertidur. Ketika bus memasuki rumah-makan untuk bersitirahat saya baru tahu bahwa tempat beristirahat itu terletak di daerah Buntu, Gombong. Usai istirahat bus kemudian berangkat lagi menenmpuh jalur melewati Bumiayu. Saya kemudian tertidur lagi. Ketika bangun, dalam suasana gelap, saya melihat bus telah berada di Ketanggungan (Brebes) dan hendak memasuki jalan tol Pejagan. Namun bus memasuki Tol Pejagan dari arah Utara (masuk ke Tol belok kanan). Padahal biasanya saya masuk ke Tol Pejagan belok kiri.
Ketika melaju di Tol Pejagan saya lalu tertidur. Ketika bangun saya melihat bus telah memasuki kawasan kota (mungkin Plumbon) kemudian selanjutnya memasuki jalur jalan ke Indramayu. Mulai itulah lalu-lintas terlihat padat. Semua kendaraan besar-kecil harus berjalan perlahan-lahan lalu berhenti beberapa saat. Demikian berlangsung hingga Pathok Besi, Subang.
Saya simpulkan bahwa ketika bus mulai memasuki jalur Indramayu, pukul 08.00 hingga bus berrbelok ke tempat parkir rumah-makan untuk beristirahat, pada pukul 14.00, selama 6 jam, kami belum menyelesaikan jalur Pamanukan, Indramayu. Saya merasakan keletihan fisik. Ketika istirahat saya dan anak-anak hanya makan 'Pop Mie' sebab anak-anak tidak mau saya ajak masuk ke antrean makanan di rumah-makan. Harga segelas 'Pop Mie' yang dijual di depan rumah makan tersebut, adalah: 12 ribu rupiah, setara dengan sepiring Bakmi Jawa rebus plus segelas teh manis panas, di Jogja. Kemungkinan harga nasi plus lauk-pauk yang dijual ala prasmanan oleh rumah-makan di Indramayu itu bisa lebih mahal lagi.
Ketika saya hendak makan bekal nasi yang masih tersisa, yang saya taruh di kolong kursi, ternyata tas kresek tempat penyimpanan bekal nasi telah hilang. Belakangan saya baru tahu bahwa kondektur bus telah menyapu semua sampah di lantai bus. Sampah beserta tas kresek bekal saya telah berada di luar pintu bus, teronggok di tanah. Akhirnya seharian itu perut saya terasa kembung masuk angin sebab tidak kemasukan apapun.
Selepas dari rumah makan lalu-lintas masih tersendat-sendat hingga Cikampek. Kondisi normal baru terasa ketika bus telah memasuki jalur Tol Cikampek - Jakarta. Semua penumpang terlihat lelah dan jenuh. Seorang anak terus-menerus menangis sehingga saya tidak bisa tidur.
Saat bus keluar dari Tol, di Cikarang Barat, pada pukul 22.00, para penumpang yang turun di Cikarang tampak bergembira. Mereka merasakan kelegaan telah bebas dari penderitaan terkungkung di dalam bus selama dua malam, Sementara itu saya termangu menunggu beberapa jam lagi menuju ke Pasar Rebo , sebagai pilihan saya untuk turun daripada harus mengikuti bus berkeliling ke Cibinong, sebelum menuju ke Cileungsi. Ketika bus sampai di perempatan Pasar Rebo, saya dan keluarga saya lalu turun kemudian pindah naik taksi 'Ekspress'. Taksi berjalan kencang melintasi jalanan Tol Jagorawi dan Trans Yogi yang sepi. Saya tiba di rumah pada pukul 23.45 tanpa rintangan apapun. Saya bersyukur bisa sampai dengan selamat di tujuan tanpa hambatan yang berarti. Bus yang saya naiki juga terasa handal tanpa mengalami mogok mesin yang membuat stress, sebagaimana pengalaman saya sewaktu mudik lebaran pada tahun 2012 yang lalu.
Bila dihutung-hitung, saya telah menghabiskan waktu perjalanan selama 33 jam. Inilah perjalanan 'balik' ke Jakarta yang paling melelahkan bagi saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H