Untuk kedua kalinya  saya dan teman saya menyusuri jalur menuju ke lokasi laboratorium peternakan milik IPB, di Desa Singasari, Kecamatan Jonggol. Seperti situasi seminggu sebelumnya, Minggu pagi kemarin  cuaca masih terasa panas menyengat. Kulit terasa dibakar. Daun-daun menguning, tanah persawahan berdebu dan retak-retak. Semak-semak, sebagian tampak bekas terbakar.
Kami berdua memasuki lokasi kampong peternakan sapi sekitar pukul 08.30. Suasana kampong hunian penjaga ternak terlihat sepi. Warga lebih suka berada di dalam rumahnya masing-masing daripada berada di luar rumah. Kandang-kandang sapi tampak kosong. Kami hanya melintas di bagian muka kampong, selanjutnya sepeda saya arahkan keluar menuju ke tepi kampong, melewati jalan setapak, menuju ke area persawahan terbuka yang pada saat kemarin hanya merupakan tanah kosong dan kering, tanpa sejumputpun tanaman padi.
Kampung hunian mini itu terletak di tengah area tanah perkebunan Kelapa Sawit nan luas, yang juga merupakan proyek laboratorium hidup milik IPB. Saya membayangkan  suasana malam hari pasti gelap gulita, sebab lokasi perkampungan itu terpencil dari permukiman penduduk. Sebuah menara listrik tegangan tinggi terlihat tegak menjulang tidak jauh dari gerbang masuk kampung .
Satu hal yang sempat menjadi pusat perhatian saya, adalah keberadaan sebuah bangunan musholla kecil yang tampak kuna. Bangunan musholla itu, sebagaimana musholla lainnya yang berada di perkampungan terpencil terlihat sangat sederhana. Daun pintunya yang dicat warna hijau tua tampak merosot ke lantai. Ubinnya masih berupa ubin semen warna abu-abu. Kubah musholla cukup ditandai dengan lambing bintang yang dipatri ke sebuah besi yang berbentuk melengkung. Kubah itu bukan terbuat dari lembaran pelat alumunium ataupun stainless stell sebagaimana layaknya kubah-kubah mesjid di kota. Sebuah pengeras suara tampak bertengger di atas genting.
[caption id="attachment_347580" align="alignnone" width="640" caption="Tampak musholla dari depan."][/caption]
[caption id="attachment_347582" align="alignnone" width="640" caption="Pintu masuk ke ruang sholat."]
[caption id="attachment_347583" align="alignnone" width="640" caption="Kubah dan "]
[caption id="attachment_347584" align="alignnone" width="480" caption="Jalur setapak keluar dari kampung."]
Suasana interiornya juga sangat bersahaja. Mihrab dan mimbarnya tanpa dekorasi apapun. Saya tidak dapat masuk ke dalam ruangan sholat sebab pintunya digembok. Pengamatan ke dalam hanya dapat saya lakukan melalui jendela nako yang masih dapat saya buka agak lebar. Saya juga melihat bedhug tersandar disudut dinding ruangan sholat.
Bagi saya bangunan musholla kampong selalu menjadi bahan pengamatn yang mengasyikkan. Dalam kebersahajaan desain yang dimilki oleh para warga kampong telah tercipta karya arsitektur yang nyaman untuk melaksanakan ibadah sholat 5 waktu. Bangunan musholla kecil yang hanya berukuran sekitar 5 x 3 meter tersebut tentu hanya dapat memuat beberapa orang saja. Namun itu telah memenuhi syarat sebab penghuni kampong peternak itu memang hanya berjumlah beberapa kepala keluarga. Mereka telah nyaman dengan situasinya sehari-hari, menggembalakan ternak, bergotng-royong mencari rumput, dan beribadah sholat 5 waktu.
13 Oktober 2014.