Bila merujuk berbagai survei dan pengukuran internasional terhadap minat baca masyarakat Indonesia, sampai saat ini kita masih belum mendengar hasil yang menggembirakan.Â
Misalnya, data dari UNESCO yang menyebutkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia berada di angka 0,001 persen, atau dengan kata lain, dari 1000 orang di Indonesia, hanya ada 1 yang rajin membaca.
Kelesuan minat baca ini harus kita respons dengan serius jika menghendaki kehidupan generasi mendatang menjadi lebih baik.Â
Langkah-langkah strategis yang terencana dan terukur untuk membangkitkan minat baca harus selalu diupayakan. Pemerintah dalam hal ini tidak bisa bekerja sendirian, melainkan harus bergandengan tangan dengan berbagai pihak.
Gerakan Literasi Nusantara (GLN) yang digagas pemerintah beberapa tahun silam sebenarnya merupakan langkah yang bagus. Hanya saja, dalam implementasinya tampak belum maksimal.Â
Sudut-sudut baca di berbagai fasilitas publik, seperti stasiun, terminal, dan alun-alun, belum banyak dikunjungi masyarakat. Bahkan dalam konteks sekolah, terjadi reduksi makna literasi.
Pihak sekolah memaknai literasi hanya sebatas kemampuan baca-tulis. Alhasil, program-program literasi yang dijalankan hanya sebatas membiasakan siswa membaca minimal 15 menit sehari, dan yang dibaca hanya buku.Â
Parahnya, program ini tidak gayung bersambut ketika siswa berada di rumah. Banyak orang tua yang belum memiliki kesadaran betapa pentingnya kebiasaan membaca. Tak heran jika program literasi tersebut seperti tak berdampak apapun terhadap minat baca siswa.
Fenomena yang sama (atau bahkan lebih parah) juga bisa kita jumpai di jenjang perguruan tinggi. Banyak mahasiswa yang belum menjadikan membaca sebagai kebiasaan.Â
Jangankan membaca buku, artikel ilmiah, atau berita, materi kuliah saja enggan mereka baca. Meskipun berkunjung ke perpustakaan, kebanyakan dari mereka hanya sebatas untuk mengerjakan tugas saja.Â