Human right is elementary rights which naturally attach at human it self, having the character as universal and have to judicial protect. Therefore cannot lessen, to be hijacked and for this reason have to be defended. In Indonesia in Chapter of XA the changed of constitution 1945 determined about human right. But its bearing with rights in economic section, social and culture, identify have not yet detail and clear. Because of rights related to rights in economic area, social and culture, still spread over the changed of constitution 1945.Impact to rights of economic, social and culture, happened when state fail to fulfill such basic rights wich meant.In this case individual or citizens have the right to claim accomplishment to rights of economic, social and culture,through advocatie.
Proses globalisasi yang bergulir pada tahum 1980-1n, bukan saja masalaj kehidupan ekonomi, tetapi talh melanda dalam kehidupan politik, hankam, iptek, pendidikan, social budaya, dan hokum. Glabalisasi dibidang politik tidak terlepas dalam pergerakan tentang HAM, transparansi, dan demokratisasi. Adanya globalisasi dalam pergerakan HAM, transparansi, maka Indonesia harus menggabungkan instrumen-instrumen HAM internasional yang diakui oleh anggota-anggota PBB, ke dalam hokum positif nasional sesuai dengan kebudayaan bangsa Indonesia dengan memperkuat lembaga masyarakat, lembaga studi, dan masyarakat luas untuk memainkan peran dalam mempromosikan dan melindungi HAM terhadap kehidupan masyarakat bangsa Indonesia. Dengan penerapan instrumen HAM internasional dalam hokum positif nasional, maka akan membatasi kekuasaan pemerintahan dalam kehidupan berbangsa dab bernegara.
Konsep HAM yang sebelumnya cenderung bersifat teologis, filsafat, ideologis, atau moralistis, dengan kemajuan berbangsa dan bernegara dalam konsep modern akan cenderung ke sifat yuridis dan politik, karena instrumen HAM dikembangkan sebagai bagian yang menyeluruh dan hokum internasional baik tertulis ataupun tidak tertulis. Bentuknya bisa dalam bentuk deklarasi, konvensi, kovenan, resolusi dan general comments. Instrumen-intrumen tersebut akan membebankan kewajiban para negara-negara anggota PBB, sebagain mengikat secara yuridis dan sebagaian lagi kewajiban secara moral walaupun para negara anggota belum melakukan ratifikasi secara formal.
Tentang konsep HAM tersebut tidak secara universal, disesuaikan dengan kebudayaan negara Indaonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. hal ini mutlak perlu, sebab akan berkaitan dengan falsafah, doktrin, dan wawasan bangsa Indonesia, baik secara individual maupun kolektif kehidupan masyarakat yang bersaskan kekeluargaan, dengan tidak emngenal secara fragmentasi moralitas sipil, komunal, mapun institusional yang saling menunjang secara proporsional.. manusia disini dipandang sebagai pribadi, sebagai mahluk social dan dipandang sebagai warganegara. Jadi konsep HAM di Indonesia bukan saja terhadap hak-hak mendasar manusia, tetapi ada kewajiban dasar manusia sebagai warganegara untuk mematuhi peraturan perundang-undangan, hokum tak tertulis, menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM yang telah diatur berdasarkan peraturan perundangan dan hokum internasional HAM yang diterima oleh Indonesia.
Dalam konteks sosial-kemasyarakatan, liberalisme meyakini bahwa individu-individu yang bebas merupakan pondasi masyarakat yang baik. Ini merupakan buah pikiran Locke yang tertuang dalam Two Treatises on Governement (1690), yang berbicara perihal dua konsep dasar kebebasan: (1) kebebasan ekonomi, yaitu hak untuk memiliki dan menggunakan kepemilikan, dan (2) kebebasan intelektual, yang di dalamnya termasuk kebebasan berpendapat. Pemikiran khas empirisisme dari Locke inilah yang menjadi pelopor lahirnya konsepsi modern HAM. Gagasan tersebut juga berperan penting sebagai jastifikasi teoretis dan ideologis bagi lahirnya Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi Perancis (1789).
HAM menjadi peraturan internasional setelah Perang Dunia II, dan setelah berdirinya PBB, yaitu pada saat diumumkannya Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia pada 1948. Pada 1961 terbit pula Perjanjian Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Pada 1966, diumumkan pula Perjanjian Internasional tentang HAM, Ekonomi, Budaya, dan Sosial.
Sejak menjadi adikuasa tunggal, AS kemudian menjadikan HAM sebagai peraturan universal, yaitu peraturan yang tak hanya diadopsi oleh negara sebagai institusi, tapi juga oleh rakyat setiap negara di seluruh dunia. Pada 1993, dua tahun setelah bubarnya Uni Soviet, di Wina diadakan konferensi tentang HAM untuk organisasi-organisasi nonpemerintah yang menghasilkan Deklarasi Wina Tentang HAM Bagi NGO, yang menegaskan keuniversalan HAM dan keharusan penerapannya secara menyeluruh atas umat manusia tanpa memperhatikan perbedaan latar belakang budaya dan hukum setempat. Deklarasi ini juga menolak klaim nuansa perbedaan HAM antara satu masyarakat dan masyarakat yang lain.
Untuk mengokohkan posisi HAM sebagai peraturan internasional dan universal, AS menjadikan HAM sebagai salah satu basis strategi politik luar negerinya. Ini terjadi pada akhir 1970-an di masa Presiden Jimmy Carter. Sejak itu, Departemen Luar Negeri AS selalu mengeluarkan evaluasi tahunan mengenai komitmen negara-negara di dunia untuk menerapkan HAM. Evaluasi tersebut juga menilai sejauh mana negara-negara itu menjalankan HAM. Evaluasi itu yang menjadi landasan sikap Washington terhadap negara-negara yang dianggap tidak terikat dengan prinsip-prinsip HAM. Tapi, daftar hitam negara-negara yang buruk pelaksanaan HAM-nya itu tidak pernah mencantumkan Israel. Seperti lazimnya kebijakan AS, dalam perkara HAM inipun Washington memiliki standar ganda dan karena itu HAM menjadi diskriminatif. Negara yang banyak melanggar HAM tidak berarti otomatis diserang oleh AS. Sebaliknya, negara yang sedikit melanggar HAM malah bisa menjadi target operasi militer AS.
Ada negara-negara yang melanggar HAM, tapi AS menutup mata dan tidak menggugatnya, karena garis kebijakan negara-negara itu dipandang masih sejalan dengan kepentingan AS. Terhadap mereka, dan demi menunjukkan komitmen sebagai penegak dan pelindung HAM, AS hanya mengeluarkan kecaman dan kutukan keras secara lisan. Ini, misalnya, dilakukan AS terhadap Israel dan Rusia, atau terhadap kasus pelanggaran HAM di Bosnia, Chechnya, dan Palestina. Sebaliknya, AS dapat bersikap ganas terhadap negara-negara pelanggar HAM yang lain. Terhadap negara-negara yang melakukan ‘dosa HAM’ kecil tapi berseberangan dengan kepentingan AS ini, AS tidak segan-segan mengambil tindakan militer, seperti yang dilakukannya terhadap Haiti, Afghanistan, atau Irak. Terkadang, AS juga mengambil tindakan ekonomi dan perdagangan, seperti yang dilakukannya terhadap Cina. Atau, AS “sekadar” mengambil langkah politik dan diplomatik, sebagaimana yang dilakukannya terhadap banyak negara, termasuk Indonesia dalam kasus Timor Timur. Dan, langkah terakhir inilah yang paling banyak dilakukan AS. Secara keseluruhan, semua manuver itu dilakukan AS demi tuntutan kepentingan-kepentingannya, dan tuntutan-tuntutan hegemoninya, dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan pelaksanaan HAM di masing-masing negara.
Dalam implementasinya, HAM sangat dipengaruhi oleh kepentingan pihak yang memiliki kekuatan. Dengan kata lain, penerapan HAM tidak terlepas dari kepentingan politik, ekonomi dan ideologi dari negara-negara yang punya kekuatan. Dalam konteks itu, Dunia Barat, khususnya AS, memanfaatkan isu HAM untuk menekan suatu negara demi kepentingannya sendiri. PBB dan badan internasional lainnya seperti IMF dan Bank Dunia kerap dipakai AS untuk merealisasikan kepentingannya itu. Dengan kata lain, HAM menjadi alat penjajahan Barat.
Dengan demikian, segala gembar-gembor soal penegakan HAM hanyalah isapan jempol. Barat tidak pernah memuliakan harkat manusia dalam arti yang sebenarnya.HAM hanya bermain di tataran ide, tidak sampai pada tataran praktis. Dengan kata lain, HAM hanya menjadi asesoris verbal yang manis di lidah tapi tidak memiliki kejelasan arah.