Beri aku seribu orang tua, dan dengan mereka aku akan menggerakkan Gunung Semeru! Beri aku sepuluh pemuda yang membara cintanya kepada Tanah Air, dan aku akan mengguncang dunia!
-Soekarno-
Begitulah kira-kira pekik seorang proklamator Republik Indonesia, Ir Soekarno. Begitu vitalnya peran dan potensi seorang pemuda, hingga Soekarno berani menegaskan kata-kata itu. Secara definisi, Reval (2013) dalam blog http://reval004.blogspot.com/2013/10/definisi-pemuda.html menyebutkan bahwa pemuda adalah
“individu yang bila dilihat secara fisik sedang mengalami perkembangan dan secara psikis sedang mengalami perkembangan emosional, sehingga pemuda merupakan sumber daya manusia pembangunan baik saat ini maupun masa datang. Definisi yang pertama, Pemuda adalah individu yang bila dilihat secara fisik sedang mengalami perkembangan dan secara psikis sedang mengalami perkembangan emosional, sehingga pemuda merupakan sumber daya manusia pembangunan baik saat ini maupun masa datang.”
Lebih lanjut ia mendefinisikan pemuda sebagai individu yang memiliki karakter dinamis, bahkan bergejolak dan optimis, namun pengendalian emosinya belum stabil. Batasan usia pemuda disebutkan oleh WHO dalam Revan (2013) berkisar antara 10-24 tahun, yang biasa disebut dengan young people (kawula muda). Hakim (2011) dalam di blognya http://ekkinuarihakim.blogspot.com/2011/11/apaitu-pemuda-secara-umumdefinisi.html, juga memiliki definisi tersendiri tentang pemuda, yaitu secara biologis mereka yang berusia 15-30 tahun, dengan usia 21 sebagai permulaan dari kematangan psikologisnya.
Dilihat dari potensinya, pemuda adalah individu yang berada di golden age-nya dan memiliki segala potensi baik dari fisik, kognitif, maupun psikis. Potensi-potensi itu ibarat sumbu dinamit yang menanti untuk diledakkan, yang kemudian memunculkan sinar-sinar terang yang elok untuk dinikmati. Atau ibarat bahan-bahan dan bumbu-bumbu masakan yang bila diolah dengan benar, akan menjadi masakan yang menggugah selera.
DARI MUSIK SAMPAI ACARA TV
Untuk mengolah bahan-bahan tersebut, alias membuat kawula muda mampu memaksimalkan potensi yang ada, mereka harus diberi asupan atau input-input yang positif, berkualitas, dengan porsi yang cukup. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan kegiatan-kegiatan positif yang membangun karakter seperti bakti sosial, aktif berorganisasi, mengikuti kelompok diskusi, menghadiri majelis ilmu, bermasyarakat, dan lain-lain.
Namun, yang terjadi di masyarakat kita akan jauh dari ideal apabila input-input yang diberikan kepada kawula muda bernilai negatif. Media adalah salah satu input informasi yang berperan paling besar di jagad ini.
Media massa elektronik bernama TV saat ini tidak seberkualitas zaman dulu, paling tidak era 90-an. Di era 90-an dulu, ketika penulis masih berada di masa kanak-kanak, asupan hiburan sungguh sangat cukup, berkualitas, dan sesuai usia. Lagu-lagu anak pada masa itu dengan mudah ditemukan. Artis-artis cilik hadir dengan lagu-lagu yang easy listening, ear-catching, bersama pesan moral yang membangun. Sebut saja lagu Joshua yang berjudul cit cit cuit yang berpesan pada kita untuk menyayangi satwa, lagu Eno Lerian berjudul Du Di Dam yang mengajari kita nama-nama masakan Indonesia, lagu Sherina bertajuk Andai Aku Besar yang mengajarkan kita untuk berbakti kepada orang tua, dan masih banyak lagi.
Di zaman sekarang ini, rasanya hampir sudah tidak ada lagi lagu-lagu untuk anak-anak. Bahkan, jamak dijumpai anak-anak yang mengikuti kontes penyanyi cilik ‘dipaksa’ untuk menyanyikan lagu-lagu yang tidak sesuai dengan usianya. Akibatnya, secara psikis mereka harus dewasa sebelum waktunya gara-gara pilihan kata yang terlalu dewasa.
Musik untuk para kawula muda pun tak ketinggalan telah berubah total. Baik itu dalam musikalitas maupun diksi yang digunakan dalam lirik lagu. Bila kita amati lirik lagu bikinan Kla Project, kemudian kita bandingkan dengan band-band zaman sekarang, tentu hasilnya langit bumi. Jauh nian.
Contoh kecil lain dalam bermusik, lagu berjudul ‘Pupus’ yang diciptakan Ahmad Dhani dari grup band Dewa 19, menceritakan tentang patah hati karena cinta yang tak terbalas. Dengan syair-syair yang berpilihan kata indah, lagu ini membawa kita untuk menghayati benar-benar rasanya patah hati, terlebih bagi mereka yang mengalami sendiri dalam kehidupan nyata. Dalam videoklip versi Baladewa (sebutan untuk fans Dewa 19), diperlihatkan seorang baladewa sampai menangis tersedu-sedu ketika ikut menyanyikan lagu yang dibawakan band kesayangannya itu
AkumencintaimuLebih dari yang kau tahu/Meski kau tak'kan pernah tahu//
Baruku sadari/Cintaku bertepuk sebelah tangan/Kau buat remuk seluruh hatiku//
Dengan tema yang sama, Cita Citata hadir dengan single ‘Sakitnya Tuh Disini’. Pilihan kata dalam syair-syair yang dibawakan begitu ringan. Terlebih lagi dikombinasi dengan sentuhan dangdut modern yang mengajak kita untuk berjoget.
Sakitnya tuh di sini Di dalam hatiku/Sakitnya tuh di sini Melihat kau selingkuh/Sakitnya tuh di sini Pas kena hatiku/Sakitnya tuh di sini Kau menduakan aku//
Hal lain yang memprihatinkan adalah acara TV. Saat ini kita lihat pernikahan selebritis yang ditayangkan live dari prosesi pertama sampai ngunduh mantu. Proses persalinan pun tak ketinggalan disiarkan. Padahal, dengan melihat acara yang menayangkan gaya hidup glamour para selebritis, masyarakat kita akan semakin hedonis, semakin meninggikan harta dan kekayaan di atas segalanya. Hal ini akan memengaruhi nilai-nilai dalam diri masing-masing individu, utamanya para pemuda.
Selain itu, TV saat ini didominasi oleh acara-acara yang tak bermutu. Contohnya seperti acara musik saat ini. Jika dulu melalui MTV, musikalitas dan latar belakang sebuah karya selalu diulas, saat ini yang justru lebih ditonjolkan hanyalah obrolan-obrolan dan guyonan host yang tak berisi, tak memiliki pesan moral, bahkan malah cenderung merusak. Tak jarang serapah yang tak tahu berapa kali dan berapa jenis yang diucapkan dalam rangka meramaikan guyonan mereka. Ulasan tentang musik, keteladanan perjuangan musisi, tak secuil pun dibahas. Acara kontes penyanyi dangdut pun tak jauh beda. Host-host yang kurang bermutu, ditambah dengan perdebatan yang sering tak nyambung dengan juri, masih belum lagi ada komentator yang bertingkah aneh-aneh untuk mengalihkan perhatian penonton. Di tribun, para penonton berjubel untuk menyaksikan idolanya beraksi di ‘panggung impian’, meneriakkan yel-yel dukungannya. Ketika sesi ngobrol-ngobrol itu dimulai, mereka tertawa memaksa.
Sinetron yang ada pun tak mampu lagi bisa diharapkan kontribusinya dalam membangun bangsa ini. Alih-alih menayangkan cerita yang mendidik, kebanyakan sinetron malah menampilkan cerita tentang pelajar yang bukannya fokus belajar, malah fokus tayangannya ada di kehidupan cinta monyetnya, bagaimana mereka ‘berebut cewek’ dengan mengerahkan hartanya, perhatian yang dibuat-buat, lengkap dengan tingkah laku yang sangat tidak mencerminkan jiwa pelajar. Dengan ‘cekokan’ acara yang ada sekarang ini, justru banyak kawula muda yang lalai dalam tanggung jawabnya, pelajar yang tidak fokus pada pelajaran tapi justru malah intens berpacaran yang hasil akhirnya, bisa ditebak sendiri.
Hiburan-hiburan yang disajikan TV saat ini bukanlah hiburan yang ideal. Kelihatannya memang para pemirsa senang, tertawa-tawa, dan bergembiraria. Namun, di balik itu, mereka tak mendapat apa-apa selain waste of time alias buang-buang waktu.
Menurut penulis sendiri, hiburan yang baik adalah hiburan yang 1) membantu menghilangkan kepenatan, kebosanan, atau rasa tertekan (stres), 2) mengandung pesan moral yang memotivasi kita untuk memperbaiki diri, 3) menginspirasi kita untuk mencontoh dan/atau meneladani tokoh/peristiwa yang kita lihat. Hiburan yang semacam inilah yang seharusnya ada dan gencar di tayangkan di media. Hiburan yang semacam ini dapat menjadikan pemirsa yang umumnya para pemuda untuk menghargai hidup, banyak bersyukur, dan semakin bersemangat dalam bekerja, belajar, dan dalam aktivitas positif lainnya.
Menilik kenyataan di lapangan yang sedemikian rupa mengenai pengaruh TV sebagai input yang paling kuat dicerna oleh kawula muda, masihkah kita peduli pada nasib masa depan bangsa ini bila hal itu berkelanjutan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H