Mohon tunggu...
Gitan D
Gitan D Mohon Tunggu... -

menulis untuk mengingat

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Suryadharma Ali dan Kisruh PPP

19 April 2014   09:14 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:29 889
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) diambang perpecahan. Kehadiran ketua PPP, Suryadharma Ali (SDA) di acara kampanye Gerindra berbuntut panjang. Banyak elit PPP yang menanyakan kehadiran SDA di partai lain saat partai sendiri sedang berjuang untuk memperoleh suara dan lolos electorial treshold. Karena dianggap bermanuver politik hendak menjatuhkan dirinya, SDA akhirnya memecat wakil ketua umum PPP, Suharso Monoarfa dan empat ketua DPW PPP. Terbaru, SDA juga merotasi M. Romahurmuziy dari Sekjen DPP PPP menjadi ketua DPP, yang ditolak Romahurmuziy sendiri. SDA sendiri telah mendeklarasikan dukungan resminya atas nama PPP ke Gerindra. Koalisi tersebut dinamakan SDA dengan koalisi Gabah (Garuda-Kabah).

Setidaknya ada dua ganjalan bagi kader PPP atas tindakan SDA yang terkesan bermanuver sendiri tersebut. Pertama, sesuai hasil Mukernas PPP di Bandung, pengusungan capres maupun keputusan koalisi akan ditentukan melalui rapat pimpinan nasional yang di laksanakan setelah pileg 2014. Tindakan SDA yang menyatakan koalisi dengan Gerindra tanpa Rapimnas sudah jelas melanggar kesepakatan bersama tersebut. Memang kelihatan sekali, inisiatif SDA bergabung ke Gerindra hanya manuver pribadinya, tanpa koordinasi dengan pimpinan PPP lainnya. SDA terkesan arogan, bahkan otoriter karena dianggapnya sebagai ketua umum bebas menentukan arah politik partai yang dipimpinnya. Anggota partainya diasumsikan pasti menyetujui apapun tindakan SDA sebagai ketum.

Kedua, sebagai partai yang mendeklarasikan dirinya sebagai partai Islam, jika terpaksa harus berkoalisi, tentu sebagian besar kader PPP menginginkan berkoalisi dengan sesama partai Islam, bukan partai nasionalis, misalnya Gerindra. Dimotori Amien Rais, sesama Partai Islam, seperti PKB, PKS, PAN, PPP, PBB telah mengadakan pertemuan di rumah Hasyim Ning, tanggal 17 April 2014. Tujuannya pertemuan tersebut tentu ingin menyatukan partai Islam menghadapi pilpres mendatang. Rupanya, Amien Rais ingin mengulangi sejarah kesuksesan poros tengah saat mengantar Gus Dur sebagai presiden, menggusur Megawati sebagai calon dari partai pemenang pemilu (PDIP).

Menanggapi adanya pertemuan partai Islam tersebut, SDA merasa tidak diundang dan menganggap utusan PPP, Emron Pangkapi dan Muchdi pr, tidak mewakili PPP. Ucapan SDA tersebut secara tidak langsung mengancam kelangsungan rencana koalisi partai Islam. Apalagi, SDA sudah menyatakan secara resmi menyatakan PPP berkoalisi dengan Gerindra. SDA menganggap tindakannya sendiri benar dan tindakan anggota partai lainnya salah.

Terlepas dari banyaknya partai Islam yang muncul sebagai saingan, PPP sebagai salah satu dari 3 partai besar warisan orde baru semakin lama semakin tenggelam justru karena perilaku elit partainya. Menurut Peter Drucker (1985), kejayaan suatu organisasi merupakan tanggung jawab para eksekutifnya (elit organisasi). Di saat partai Golkar dan PDI (sekarang PDIP) sebagai sesama partai “tua” masih berjaya dengan menempati urutan pertama dan kedua hasil quick count, PPP justru mengalami kisruh internal diantara elit politiknya. Perolehan suaranya pun kalah dari partai pendatang baru, Nasdem. Sebagai ketua umum, SDA terbukti tidak mampu membawa suasana kondusif di partainya. Saat kader sedang berjuang untuk pemenangan partainya, SDA malah secara terang-terangan datang ke kampanye Gerindra dan mendukung Prabowo sebagai presiden. Belum apa-apa, sudah menganggap partai sendiri tidak akan mampu memenangi pemilu. Tindakan SDA menunjukkan seolah-olah Gerindra pasti diatas PPP dalam hal perolehan suara sehingga buru-buru mendukung Gerindra dan Prabowo. Harapannya tentu, jika Prabowo terpilih sebagai presiden, SDA dianggap berjasa dan kecipratan jabatan.

Kalau dikaitkan dengan teori kepemimpinan Hermawan Kertajaya, seorang pakar marketing terkemuka, SDA mungkin pemimpin yang baru tahap pemimpin 1.0, yaitu pemimpin yang mementingkan dirinya sendiri. Kesuksesan dirinya sendiri adalah yang utama. Tindakannya akan berorientasi pada kepentingannya sendiri. Kepemimpinan seperti itulah yang kebanyakan dimiliki oleh elit politik kita saat ini. Kalau tipe 2.0 adalah pemimpin yang melakukan tindakan dengan tujuan untuk menyenangkan anak buahnya. Pemimpin yang takut tidak disenangi bawahan. Puncak tipe kepemimpinan, adalah pemimpin 3.0. Tipe ini hanya dimiliki oleh segelintir orang di negeri ini. Tipe pemimpin 3.0 merupakan pemimpin yang mampu memimpin dengan human spirit yang menggabungkan IQ, SQ dan EQ secara berimbang. Ciri-ciri pemimpin tipe ini adalah bekerja dengan jujur, amanah, berintegritas, serta mampu menggerakan dan menyebarkan pengaruh positif bagi lingkungannya. Orang yang dipimpin oleh pemimpin 3.0 akan sukarela mengikutinya karena mereka tahu pemimpinnya adalah orang yang berintegritas, jujur dan suka bekerja keras.

Maka, wajar kalau suara PPP hasil pileg kemarin hanya menang atas Hanura, PBB dan PKPI saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun