Mohon tunggu...
Sigit Kurniawan
Sigit Kurniawan Mohon Tunggu... lainnya -

Lahir di Jogjakarta tiga dekade silam. Saat remaja, mengembara di lorong-lorong Jakarta, sebuah city of joy yang menyuguhkan kesepian di tengah keramaian. Setiap hari menjadi tukang corat-coret di sebuah pabrik kata-kata. Baginya, segala peristiwa dalam hidup akan menjadi lebih indah dan bermakna usai ditorehkan dalam kata-kata. Moto hidupnya "SCRIBO ERGO SUM, Aku Menulis maka Aku Ada." Tempayan air kata-katanya bisa dibaca di blog http://katakataku.com (blogging for humanity). Lagi belajar sastra dan filsafat agar bisa memandang hidup ini tidak hitam putih. Selamat menimba kesegaran dalam tempayan air kata-kata ini. Mari merayakan hidup!

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Wartawan Malas Verifikasi

13 April 2010   04:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:49 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

[caption id="attachment_117315" align="alignleft" width="260" caption="Sumber: http://www.phillyburbs.com"][/caption] Geger kasus Raya berakar pada malasnya wartawan melakukan verifikasi. Padahal, verifikasi adalah esensi jurnalisme. BILL KOVACH dan Tom Rosenstiel dalam bukunya The Elements of Journalism menandaskan bahwa esensi  jurnalisme adalah disiplin melakukan verifikasi. Tapi, dalam praktiknya, aktivitas melakukan verifikasi bukanlah pekerjaan gampang. Problemnya bukan terletak pada realitas kasus atau info  itu yang susah diverifikasi atau tidak. Melainkan, pada kemalasan para wartawan melalukan verifikasi tersebut. Jamak kita jumpai berita-berita heboh yang karena tidak ada verifikasi ternyata berujung pada berita bohong belaka. Tadi malam (25/03), saya membaca berita di portal Detik. Di situ, diberitakan Raya Surtiana Rusidi mensomasi TVOne gara-gara menampilkan fotonya di acara Kabar Petang-tepatnya di akhir pemberitaaan Soraya Abdullah Balvas, istri M Jibril, sosok yang dicap teroris itu. Tak hanya di TVOne, foto Raya Surtiana juga muncul diberbagai media internet dan media cetak dalam kaitannya dengan berita seputar terorisme. Saya tak tahu persis media mana yang pertama kali menampilkan foto warga Bandung dan putri mantan diplomat di Yugoslavia tersebut. Yang jelas, penayangan foto salah itu telah menyisakan korban dan kerugian di pihak Raya. Detik mengatakan Raya sudah terkena cekal untuk menyambangi beberapa negara, salah satunya Brunei Darussalam. Produser Arab Saudi juga batal mengajak Raya untuk bermain film lagi mengingat dirinya dikaitkan dengan jaringan teroris itu. Tapi, sebenarnya, bukan Raya saja yang dirugikan. Seluruh pemirsa televisi, pembaca koran, internet, dan majalah pun dirugikan. Tak berlebihan juga bila menyebut media-media tersebut telah melakukan "Pembohongan Publik." Sebab itu, publik pun berhak mensomasi penyebar kebohongan itu. Saya heran kenapa ada banyak media menampilkan foto yang nyata salah itu. Disiplin melakukan verifikasi tidak dilakukan. Kemungkinan besar, antarmedia melakukan copypaste tanpa menguji kebenarannya. Bukan rahasia lagi kalau di lapangan, para wartawan ada yang senang bergerombol untuk saling bertukar contekan berita. Akibatnya, berita yang dilansir pun nyaris seragam-bahkan sampai ke kalimat-kalimat pemberitaannya. Apesnya bila yang dicontek adalah informasi yang salah. Semua media pun akan menyiarkan berita yang salah juga. Saya tak tahu persis mengapa media enggan melakukan verifikasi-terlepas dari intrik media bersangkutan. Apakah mentalitas para wartawan sekarang ini kurang tergembleng untuk menurunkan berita sesuai dengan pagar jurnalisme. Berdasarkan pengamatan saya belakangan ini-pengamatan saya bisa salah bisa benar-beberapa media cenderung menyajikan informasi bak sinetron. Informasinya patah-patah, beraksen sensasional, dramatik-tak jarang melodramatik dan tanpa isi. Persaingan antarmedia dalam menyiarkan berita paling cepat kadang tersandung pada asal menyiarkan dan minus verifikasi. Hal ini tak jarang dilakukan media televisi dan online. Wartawan suka mengutip ucapan orang tanpa melakukan verifikasi apa yang diomongkan. Padahal, sikap curiga dan ingin tahu (curiousity) sebaiknya melekat pada diri mereka yang menamakan dirinya wartawan. Masih hangat dalam ingatan publik bagaimana dua televisi swasta-TV One dan MetroTV-dalam drama penyergapan teroris di Temanggung hanya menuai hujatan. Stasiun televisi yang menayangkan detik demi detik proses penyergapan pada 8 Agustus 2009 itu menyatakan bahwa yang tewas tertembak oleh timah panas Densus 88 adalah Noordin M Top. Entah dari mana media itu dengan percaya diri menyatakan informasi itu. Para pemirsa pun ‘dibombardir' dengan asumsi wartawan di lapangan. Sampai akhirnya, uji DNA membuktikan bahwa orang yang tewas di Temanggung bukanlah Noordin M Top. Inilah tontonan paling vulgar (baca: paling memuakkan) bagaimana media bekerja tanpa disiplin verifikasi dan investigasi serta berujung pada pembohongan publik. Belum lagi dengan turunnya kualitas jurnalistik-khususnya disiplin verifikasi-lantaran bayang-bayang komersialisasi media. Media lebih memihak kepentingan para pemilik modal ketimbang pada publik. Akibatnya, bila pemilik modal atas sebuah media sedang terkena kasus, pemberitaan media itu akan hambar-hambar saja dan bahkan lebih menjadi corong cuci tangan para pemilik modal. Contohnya, TVOne yang dimiliki Bakrie dalam pemberitaan soal tragedi lumpur Lapindo. Ignatius Haryanto, Direktur Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), seperti diberitakan Kompas.com menandaskan fenomena komersialisasi industri media dan terkonsentrasinya perusahaan media di tangan beberapa gelintir pengusaha akan berdampak pada penurunan kualitas jurnalistik. Akibatnya, kepentingan publik untuk mengetahui informasi terabaikan. Akhirnya, disiplin verifikasi tetap wajib ditegakkan oleh para wartawan. Kovach dan Rosentiel - seperti ditulis Andreas Harsono-menyuguhkan lima disiplin dalam verifikasi. Kelimanya antara lain wartawan tidak boleh menambah atau mengarang apa pun, tidak menipu dan menyesatkan pembaca/pemirsa, wartawan bersikap setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi dalam peliputan, mengandalkan peliputan wartawan sendiri, dan bersikap rendah hati. Sumber: http://katakataku.com (tempayan air kata-kata)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun