Mohon tunggu...
Sigit Kurniawan
Sigit Kurniawan Mohon Tunggu... lainnya -

Lahir di Jogjakarta tiga dekade silam. Saat remaja, mengembara di lorong-lorong Jakarta, sebuah city of joy yang menyuguhkan kesepian di tengah keramaian. Setiap hari menjadi tukang corat-coret di sebuah pabrik kata-kata. Baginya, segala peristiwa dalam hidup akan menjadi lebih indah dan bermakna usai ditorehkan dalam kata-kata. Moto hidupnya "SCRIBO ERGO SUM, Aku Menulis maka Aku Ada." Tempayan air kata-katanya bisa dibaca di blog http://katakataku.com (blogging for humanity). Lagi belajar sastra dan filsafat agar bisa memandang hidup ini tidak hitam putih. Selamat menimba kesegaran dalam tempayan air kata-kata ini. Mari merayakan hidup!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Solidaritas Buruh Australia Dukung Kemerdekaan RI

30 April 2010   18:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:29 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_130379" align="alignleft" width="317" caption="Sumber: http://earlyworks.com.au"][/caption]

Apa jadinya bila para buruh pelabuhan Australia tidak mogok kerja dan menyandera kapal-kapal Belanda berisi amunisi dan senjata yang akan berangkat ke Indonesia? Film dokumenter Indonesia Calling (1946) besutan Joris Ivens memaparkan dengan gamblang.

MUNGKIN SEJARAH akan bergulir lain bila para buruh Australia tidak menggelar aksi mogok massal dan menyandera kapal-kapal Belanda yang berisi amunisi, senjata, dan sebagian tentara dan akan diberangkatkan ke Indonesia itu. Belanda mungkin akan lebih cepat melakukan agresinya dan menghancurkan Indonesia beberapa saat usai memproklamirkan kemerdekaannya.

Perjuangan yang tak kalah berat dari merebut kemerdekaan adalah mempertahankan kemerdekaan itu sendiri. Proklamasi 17 Agustus 1945 bukan tanda bahwa perjuangan telah usai. Dunia internasional belum mengakui kemerdekaan itu. Terlebih Belanda yang mencengkeram Indonesia dan menghisap keuntungan darinya tiga setengah abad lamanya. Di saat pasukan Belanda hendak melancarkan serangannya kembali ke Indonesia, solidaritas Australia yang diwakili oleh para buruh membuncah. Mereka mendukung penuh perjuangan kemerdekaan Indonesia agar diakui oleh komunitas Internasional. Semua ini terekam gamblang dalam film dokumenter garapan Joris Ivens (1898-1989) berjudul Indonesia Calling (1946). Film ini merupakan dokumentasi sejarah penting Indonesia di awal kemerdekaannya.

Film ini dirilis untuk memperingati setahun kemerdekaan Indonesia pada 1946. Sutradara asal kelahiran Nijmegen 18 November 1898 ini menggarap film ini dengan dibantu oleh para kru film dan aktivis dari berbagai negara. Lantaran debutnya di film dokumenter bernilai sejarah tinggi, seperti film tentang sosialisme Soviet, Perang Sipil Spanyol, perang kemerdekaan Indonesia, Perang Vietnam, Perang Kuba dan Revolusi China membuat ia dikenal sebagai salah satu perintis film dokumenter dunia. Sudut pandang filmnya yang kontroversial membuat dia mengalami penyingkiran dari negeri sendiri.

[caption id="attachment_130381" align="alignright" width="270" caption="Sumber: http://earlyworks.com.au"][/caption]

Film berdurasi 21 menit ini awalnya menceritakan tentang orang-orang Indonesia di pembuangan Australia yang berniat pulang ke Indonesia dengan kapal Esperance Bay usai Perang Dunia II—tepatnya pada Oktober 1945. Joris menegaskan di awal, secara geografis, Indonesia dan Australia sangat dekat. Tapi, Perang Dunia telah memutus hubungan laut dari dua negara di kawasan Pasifik ini. Joris Ivens menyebutada sekitar 1.400 orang Indonesia menumpang kapal Esperance Bay.

“Saat itu, ada sekitar 5.000 orang Indonesia di Australia. Kebanyakan adalah para pegawai negeri Belanda maupun tentara yang digaji sebagai tentara Belanda alias KNIL. Yang menarik, di sana, ada sekitar 300 intelektual dari kalangan dosen, penulis, jurnalis, maupun seniman yang dulunya pernah diasingkan ke Tanah Merah di Sungai Digul, Papua. Mereka, saat pendudukan Jepang pada tahun 1943, dibawa Pemerintah Belanda ke pengasingan di Australia,” kata Lexy Junior Rambadeta, sutradara film dokumenter dan videojurnalis Indonesia dalam sebuah diskusi kecil tentang film ini di Newseum Café, Jakarta Pusat beberapa bulan silam.

[caption id="attachment_130384" align="alignleft" width="211" caption="Bersama Marion Michelle. Sumber: http://japanfocus.org"][/caption]

Dalam menggarap film ini, Joris Ivens bekerjasama dengan beberapa orang Indonesia. Ivens menunjuk John Sendoek, misalnya, sebagai teknisi suara film ini. John Sendoek adalah seorang eks tapol Belanda yang bekerja di stasiun Radio Belanda di California selama Perang Dunia II. Adalagi John Soedjono, seorang penari, yang membantu mengurus perlengkapan film. Lalu Soendardjo, mantan tapol dan Soeparmin dari serikat buruh dilibatkan juga karena keyakinan dan keberanian mereka. Ivens juga menggandeng fotografer Amerika Marion Michelle dan kameramen Canada Doland Fraser bersama istrinya Joan Fraser sebagai editor film. Sementara, narasinya ditulis oleh Catherine Duncan, seorang aktris Australia, penulis naskah radio, dan anggota Liga Teater yang mengaku komunis.

Kembali ke film, kapal Esperance Bay berlayar menuju Jawa. Tepatnya, di dermaga Surabaya yang menurut Lexy, dermaga ini usai Proklamasi Kemerdekaan menjadi dermaga yang pertama dikuasai oleh pejuang Indonesia.Sebagai jaminan bahwa kapal itu tidak mendarat di dermaga yang dikuasai Belanda, pemerintah Australia mengirim seorang pejabat negara untuk menemani pelayaran.

Sebelum kapal itu bertolak, Joris menampilkan pidato dari seorang pemimpin buruh Australia yang kemudian memberikan bendera Indonesia kepada seorang perwakilan Indonesia. “Bisa jadi, untuk konteks saat itu, ini bernilai subversif sekali. Pasalnya, proklamasi 17 Agustus masih dianggap sepi oleh dunia internasional. Amerika, Barat, Belanda apalagi, tidak mengakui,” imbuh Lexy yang merupakan pendiri organisasi Offstream yang memproduksi ulang film Joris Ivens ini dan yang dikenal lewat film-film dokumenter buatannya, seperti Jugun Ianfu (2000), Shadow Play (2001), dan Mass Grave (2002) itu.

[caption id="attachment_130385" align="alignright" width="300" caption="Sumber: http://epress.lib.uts.edu.au"][/caption]

Film yang konon turut didanai oleh Federasi Pekerja Waterside ini mengisahkan pula kehidupan orang-orang Indonesia di Australia. Tentang hidup pergaulan mereka, sepak terjang perjuangan, sekaligus kehidupan perkawinan dengan orang pribumi. Orang Australia sangat kagum dengan para pejuang dan pelaut Indonesia. Khususnya, saat pendudukan Jepang.

Dikisahkan juga aksi-aksi penggalangan dana yang populer dengan Victory Loan, seperti di kawasan Martin Place. Di sana, para musisi Indonesia melantunkan lagu-lagu daerah Indonesia. Mereka melakukan itu sebagai bagian dari pergerakan rakyat Indonesia keseluruhan. Mereka bukan orang-orang yang lupa dengan Tanah Air meski hidup di negeri asing. Mereka merayakan kemerdekaan dengan menggelar panggung budaya, seperti wayang orang. Ini mau menegaskan lagi sekalipun berada di tanah pembuangan, mereka tidak melupakan budaya sendiri. Sementara, radio terus berkoar tentang kemerdekaan Indonesia dan menegaskan kembali hak kebebasan berekspresi, berserikat, dan pers. “Kami tidak mau ditindas Belanda. Kami siap mengorbankan jiwa demi kemerdekaan,” tandas seorang perwakilan Indonesia dalam orasinya di jalanan Kota Sydney di film tersebut.

Belanda mau menjajah Indonesia lagi karena banyak keuntungan yang bisa mereka keruk selama 350 tahun. Seorang Australia membuat sketsa bagaimana Belanda mengeruk keuntungan dari perkebunan kina, timah, minyak, maupun karet. Semua kalau ditakar seharga 32 juta poundsterling atau setara 100 juta dolar per tahun. Belanda pun tak mau kehilangan lahan mutiara ini. Kapal-kapal Belanda pun bergerak dan merapat di berbagai dermaga untuk kembali menyerang Indonesia. Mereka merapat di Brisbane, Sydney, maupun Melbourne. Kapal-kapal yang dikabarkan membawa alat-alat medis itu ternyata terkuak mengangkut amunisi dan senjata.

Melihat ini, para buruh kapal dari Indonesia melancarkan aksi mogok kerja. Aksi ini kemudian diikuti oleh buruh pelabuhan dari Australia. Usai diliput oleh media, aksi pun membesar. Asosiasi buruh Australia mendukung penuh aksi buruh Indonesia. Mereka mengangkat kembali pesan Piagam Atlantik di mana melalui serikat buruh sedunia mendukung kemerdekaan setiap bangsa.

Asal tahu saja, Piagam Atlantik menjadi piagam perdana sebagai cikal bakal terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bansa (PBB). Pada 14 Agustus 1945, Perdana Menteri Inggris Winston Churchill dan Presiden Amerika Serikat F.D. Roosevelt menggelar pertemuan di atas geladak kapal Augusta di Teluk New Foundland samudra Atlantik. Keduanya menandatangani piagam itu yang salah duanya menyebut setiap bangsa berhak menentukan bentuk dan corak pemerintahannya sendiri dan setiap bangsa dapat hidup bebas dari ketakutan dan kekurangan.

Dalam aksi ini, para aktivis buruh menengarai kapal-kapal Belanda dalam daftar hitam. Mereka menyandera kapal-kapal itu agar tidak berangkat ke Indonesia. Kapal-kapal itu, antara lain Lishveck, Tahut, Tosari, Vanderlaan, Tasman, Jansen, Van Heutsz, Swartenhondt, maupun Monteque. “Atas nama Republik, saya mau mengucapkan terimakasih. Tanpa bantuan Anda menahan kapal-kapal Belanda, mungkin Republik kami sudah hancur,” kata Jan Wilando dalam film itu. Sementara, Max Sukanto dan Tukliwan mengecek kapal-kapal yang tertahan di kantor serikat pelaut Indonesia. Tapi, ada satu kapal yang lolos.

[caption id="attachment_130388" align="alignleft" width="300" caption="Sumber: http://archive.sensesofcinema.com"][/caption]

Drama penghadangan kapal-kapal Belanda ini cukup seru. Ada sekitar 1.600 tentara Belanda di atas kapal Sterling Castle yang berlayar menuju Jawa. Para aktivis menyerukan agar kapal merapat kembali ke dermaga. Kapal Sterling Castle bergeming. Radio terus berceloteh memberi semangat para penghadang kapal. Sikap para buruh pelabuhan juga mereka tunjukkan dalam grafiti bertuliskan “1938 No Scraps for the Japs. 1945 No Arms for the Dutch.”

Aksi semakin meluas. Para buruh transportasi ikut mogok kerja. Disusul oleh buruh cat, buruh mesin, dan bahkan pegawai kantor dermaga pun mogok untuk mengurusi kapal-kapal Belanda. Sementara, dukungan moral juga mengalir dari negara lain. Sebut saja, 11 kru kapal Moreton Bay dari Inggris bergabung dalam aksi itu. Harry Bridges, Presiden Serikat Buruh Pelabuhan Amerika menyampaikan dukungannya dalam sepotong telegram. Tak ketinggalan buruh-buruh dari China, India, Malaysia, Kanada, dan Selandia Baru. Pandit Nehru dan Jennah dari India, Manuilsky dan Vyshinsky dari Uni Soviet serta Presiden Romulo dari Filipina juga menggelar dukungan.

[caption id="attachment_130389" align="alignright" width="300" caption="Sumber: http://earlyworks.com.au"][/caption]

Ternyata, ada satu kapal Belanda yang lepas dari pengawasan. Dimulailah pengejaran dengan kapal motor kecil. Adegan ini cukup dramatis dan tampaknya Joris Ivens menambahkan adegan ini untuk mempertegas pesannya. Kapal motor itu merapat ke kapal Belanda yang dioperasikan oleh para buruh dari India. Ivens menampilkan adegan seruan aktivis buruh Australia agar para buruh India itu menghentikan kapal dan pulang ke dermaga. Seorang dari atas kapal motor menyerukan bahwa perjuangan rakyat Indonesia adalah perjuangan rakyat India juga.

Seruan ini cukup mempan. Awak kapal dari India itu pun menghentikan kapal dan akhirnya kembali ke dermaga. Di dermaga, mereka disambut dengan sorak-sorai. Mereka mengaku sebenarnya akan diberangkatkan di kapal Sekutu menuju Borneo. Tapi, mereka malah ‘tersesat’ ke kapal Belanda tadi. Perjuangan Indonesia adalah perjuangan rakyat India juga! Demikian seruan seorang perwakilan dari awak kapal India tersebut dan bergabung dalam perjuangan memerangi fasisme di Asia Pasifik.

Film hitam putih ini ditutup dengan berkumandangnya lagu Indonesia Raya dengan syair dan gaya versi lama. Sepotong epilog yang tegas tentang eksistensi Republik Indonesia. Joris Ivens meninggal pada 28 Juni 1989. Kisah hidupnya dibukukan dalam biografi oleh Hans Schoots berjudul Living Dangerously: A Biography of Joris Ivens (Amsterdam, 2000). Joris Ivens dan Indonesia Calling merupakan saksi mata gerakan solidaritas buruh Australia untuk mendukung kemerdekaan Indonesia.

[caption id="attachment_130390" align="alignnone" width="560" caption="Sumber: http://ivens.nl"][/caption]

Meski latarnya jauh sekali dengan konteks sekarang, film ini cukup berbicara banyak hal. Solidaritas dan perjuangan bersama para buruh masih dibutuhkan. Mengingat kolonialismenya tetap terjadi dalam bentuknya yang berbeda dan justru semakin ekstrem, yakni kapitalisme rakus. Selama ketidakadilan masih terus terjadi, perjuangan belum selesai.

@ Sabtu, 1 Mei 2010 Hari Buruh Internasional

tautan blog personal http://katakataku.com (tempayan air kata-kata)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun