Mohon tunggu...
Sigit Kurniawan
Sigit Kurniawan Mohon Tunggu... lainnya -

Lahir di Jogjakarta tiga dekade silam. Saat remaja, mengembara di lorong-lorong Jakarta, sebuah city of joy yang menyuguhkan kesepian di tengah keramaian. Setiap hari menjadi tukang corat-coret di sebuah pabrik kata-kata. Baginya, segala peristiwa dalam hidup akan menjadi lebih indah dan bermakna usai ditorehkan dalam kata-kata. Moto hidupnya "SCRIBO ERGO SUM, Aku Menulis maka Aku Ada." Tempayan air kata-katanya bisa dibaca di blog http://katakataku.com (blogging for humanity). Lagi belajar sastra dan filsafat agar bisa memandang hidup ini tidak hitam putih. Selamat menimba kesegaran dalam tempayan air kata-kata ini. Mari merayakan hidup!

Selanjutnya

Tutup

Politik

SBY Bukan Seorang Pemimpin!

9 Agustus 2010   10:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:11 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sumber foto: http://kabarnet.files.wordpress.com/2009/08/presiden.jpg

Ormas-ormas kriminal semakin brutal.

Aparat pun seperti macan ompong.

Teror tabung gas terus merenggut korban.

SBY memang presiden, tapi bukan pemimpin

Oleh Sigit Kurniawan

KEKERASAN dan brutalitas yang dilakukan oleh ormas-ormas kriminal yang berjubah agama belakangan ini sungguh memprihatinkan. Kekerasan demi kekerasan terus terjadi dan aparat seperti macan ompong—entah aparatnya tidak mampu, entah tidak mau, atau entah yang lain. Yang kelihatan, aparat tidak melakukan tindakan tegas pada para pelaku kriminal.

Minggu pagi (8/8), misalnya, saat puluhan jemaat Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pondoh Indah di Kampung Ciketing Asem, Kecamatan Mustika Jaya, Bekasi sedang beribadah, ratusan massa yang mengatasnamakan Islam menyerang jemaat. Ratusan polisi sudah berjaga mengamankan kebaktian. Tapi, polisi bak macan ompong. Massa merangsek dan menembus barikade polisi, mengejar para jemaat, dan melakukan kekerasan pada mereka—termasuk memukuli seorang ibu (bdk. Tempointeraktif).

Sungguh, hidup di Indonesia saat ini seperti hidup di hutan rimba. Hukum sudah tidak ada artinya lagi. Orang dengan gampang main hakim sendiri. Peristiwa di Ciketing Asem itu hanyalah satu dari deretan panjang peristiwa naas yang belakangan ini semakin menjadi-jadi. Ormas-ormas kriminal berlabel agama kian beringas. Semakin beringas justru di saat memasuki bulan Suci Ramadan—bulan untuk ugahari dan mengekang segala hawa nafsu.

Hidup di Indonesia sekarang ini seperti hidup dalam kotak ironisme. Katanya Indonesia adalah negera beragama, tapi kenapa orang-orang yang sedang beribadah pada Tuhan justru diusir dan dipukuli? Katanya negara ini adalah negara hukum, tapi kenapa polisi berdiam diri ketika ada orang beribadah diserang dan dianiaya oleh ormas kriminal dan polisi sama sekali tidak menangkap pelaku kekerasan?

Di manakah dirimu, Tuan Presiden?

Nah, tulisan ini sengaja saya tujukan pada orang nomer satu negeri ini, yakni Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sebagai warga—di alam yang katanya demokratis ini—saya mempertanyakan kepemimpinan SBY selaku penanggungjawab utama negeri ini. Sebagai warga negara, tentu saya berharap bisa menjaminkan hidup saya sebagai warga Indonesia dengan aman di bawah kepemimpinan Tuan Presiden yang telah dipilih secara mahal oleh rakyat. Sebagai warga—dan tentu seperti yang warga lainnya harapkan—ingin bisa melangsungkan hidup dengan aman dan bebas dari rasa takut di bawah kepemimpinan Tuan Presiden.

Tapi, nyatanya, negara sama sekali gagal melaksanakan tugasnya. Minimal, menjamin rasa aman di hati masing-masing warganya. Saya merasa tidak mendapat perlindungan secara nyata dari Tuan Presiden. Di manakah Tuan Presiden, ketika saudara-suadara saya dipukuli saat mereka sedang beribadah? Di manakah Tuan Presiden, ketika saudara-saudara Ahmadiyah diusir, dianiaya, dan terlunta-lunta menjadi pengungsi di negeri sendiri? Di manakah Tuan Presiden ketika betapa sulitnya warga Gereja membangun tempat ibadah di negeri yang berlandaskan Pancasila yang tegas-tegas menyatakan ber-keTuhanan dan berperikemanusiaan ini? Di manakah Tuan Presiden saat rakyat diteror oleh tabung-tabung gas milik negara yang meledak hampir setiap hari dan menyisakan duka cita dan kerugian mendalam di pihak rakyat? Di manakah suara keprihatinan Tuan Presiden yang kami harapkan mampu meredakan ketakutan kami dari teror di negeri sendiri? Tuan Presiden tampaknya terus bergeming dalam diam. Bagaimana mungkin Tuan Presiden sebagai gembala dari domba-domba rakyat Indonesia membiarkan domba-domba ini dicabik-cabik oleh serigala-serigala?

Seharusnya Tuan Presiden marah dan tertampar ketika ada ormas-ormas kriminal bebas main hakim sendiri dan memukuli rakyat Tuan Presiden sendiri. Seharusnya Tuan Presiden merasa terlecehkan karena kepemimpinan Tuan dikangkangi oleh ormas-ormas tersebut. Harusnya Tuan Presiden malu karena negara dengan segala hukumnya dianggap sudah tidak ada lagi sehingga ormas-ormas itu seenaknya memberangus kelompok-kelompok lain. Sungguh, tragedi, karena belakangan ini, Indonesia seperti negara tanpa pemimpin!

Sungguh akal sehat saya terlipat-lipat saat Tuan Presiden justru mengiba-iba minta diperhatikan dan dikasihani karena merasa menjadi objek ancaman terorisme. Sudah berapa kali Tuan Presiden curhat kepada rakyat kalau Tuan sedang diancam oleh gerombolan teroris. Tuan Presiden, sebaliknya, rakyat yang sudah lama terkena teror yang kudu curhat kepada Tuan Presiden—seperti tulisan yang saya buat bagi Tuan ini. Bagaimana mungkin rakyat yang setiap hari diteror oleh kemiskinan, tabung-tabung gas maut, dikejar-kejar oleh ormas-ormas kriminal, terjerat harga-harga bahan pokok dan kenaikan tarif dasar listrik, dan sebagainya justru yang harus mendengarkan keluh kesah Tuan Presiden. Sungguh prestasi luar biasa bagi rakyat Indonesia yang hidupnya sudah sekarat masih saja sudi mendengarkan keluh kesah Tuan Presiden dengan penuh kesabaran seperti seorang ayah pada anaknya yang merengek minta mainan. Dan sungguh mulia hati rakyat Indonesia yang hidupnya kembang kempis tapi tetap berjiwa besar saat curhatnya kepada Tuan Presiden tidak didengarkan.

Penjaga Pancasila dan UUD 1945

Tuan Presiden, saya mencintai Indonesia. Terutama karena paham betul Negeri tempat saya dilahirkan tiga dekade silam adalah negeri yang sangat mencintai keberagaman. Salut dengan peletak dasar negara ini yang membangun Indonesia di atas fondasi Pancasila. Pancasila dengan semboyannya Bhinneka Tunggal Ika dan dilandasi semangat ke-Tuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial.

Tapi, belakangan ini, muncul gerakan-gerakan yang ingin memberangus nilai-nilai Pancasila, merong-rong Pancasila dan menggantikannya dengan penyeragaman ideologi atau agama tertentu. Itu pun dilakukan dengan aksi-aksi brutal, kriminal, premanisme, dengan mengancam, menakut-nakuti, membubarkan kelompok lain, memukuli, kelompok lain yang tidak sepaham. Namun, mengapa Tuan Presiden yang katanya pemimpin negeri ini tampak diam saja dan canggung melakukan tindakan tegas? Korban terus berjatuhan. Bukankah kelompok-kelompok yang ingin memaksakan ideologi agama tertentu itu telah melanggar dasar negara kita, Tuan Presiden? Tapi, aneh sekali, mengapa Tuan Presiden sepertinya diam saja dan membiarkan dasar negara kita diguncang-guncang oleh kelompok-kelompok tersebut? Bukankah mereka adalah para pengkhianat dan ancaman nyata terhadap Pancasila dan Bangsa ini? Bila Tuan Presiden membiarkan para pengkhianat Bangsa Indonesia itu terus melakukan aksinya, Tuan Presiden sama saja membiarkan Bangsa ini rusak.

Seharusnya, Tuan Presiden sebagai orang nomer satu Negeri ini adalah penjaga utama Indonesia, penjaga utama Pancasila dan konstitusi negeri ini. Seharusnya Tuan Presiden yang pertama kali pasang badan ketika ada kelompok orang yang ingin merobohkan bangunan Indonesia. Tapi, mengapa Tuan Presiden malah membiarkan semua itu itu terjadi dan membiarkan rakyat babak belur dipukuli dan dianiaya oleh ormas-ormas kriminal pelanggar Pancasila tersebut. Tuan Presiden, Anda itu seorang negarawan. Tapi, mengapa sikap Anda seperti menjauh dari kebajikan seorang negarawan? Ingat Tuan, kita tidak hanya bertanggung jawab pada apa yang telah kita katakan dan lakukan. Tapi, juga bertanggung jawab pada apa yang tidak kita katakan dan tidak kita lakukan.

Mencintai Indonesia bukan hanya sebatas teks pidato kenegaraan yang akan Tuan bacakan pada peringatan Kemerdekaan Negeri ini ke-65 nanti dalam sorotan banyak kamera. Rakyat butuh sikap nyata Tuan Presiden untuk menegaskan bahwa INDONESIA BENAR-BENAR MERDEKA. Merdeka dari rasa takut, merdeka menjalankan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing, merdeka berserikat, merdeka dari kriminalisasi ormas-ormas preman, merdeka dari teror tabung gas, merdeka dari korupsi, merdeka membangun tempat ibadah, merdeka dari kemiskinan. Dan, Tuan Presiden kudu berani menjadi jaminan bagi rakyat. Bila Tuan Presiden tidak berani menjadi jaminan bagi rakyat, tak usalah nanti berterima kasih pada para pahlawan dalam teks pidato kenegaraan pada peringatan Kemerdekaan RI karena itu hanya menyakitkan jiwa-jiwa para pahlawan yang sudah susah payah mendirikan Indonesia.

Sekian dulu, Tuan Presiden. Masihkah Tuan akan terus berdiam diri seolah-olah tidak terjadi tragedi kemanusiaan di Negeri ini? Bila Tuan masih berdiam diri, tak salah saya menyebut “SBY memang Presiden, tapi bukan pemimpin!” Dan jangan kaget, jika ucapan ini juga akan diucapkan oleh semakin banyak rakyat Indonesia!

Merdeka!

Kelapa Gading, 9 Agustus 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun