Mohon tunggu...
Sigit Kurniawan
Sigit Kurniawan Mohon Tunggu... lainnya -

Lahir di Jogjakarta tiga dekade silam. Saat remaja, mengembara di lorong-lorong Jakarta, sebuah city of joy yang menyuguhkan kesepian di tengah keramaian. Setiap hari menjadi tukang corat-coret di sebuah pabrik kata-kata. Baginya, segala peristiwa dalam hidup akan menjadi lebih indah dan bermakna usai ditorehkan dalam kata-kata. Moto hidupnya "SCRIBO ERGO SUM, Aku Menulis maka Aku Ada." Tempayan air kata-katanya bisa dibaca di blog http://katakataku.com (blogging for humanity). Lagi belajar sastra dan filsafat agar bisa memandang hidup ini tidak hitam putih. Selamat menimba kesegaran dalam tempayan air kata-kata ini. Mari merayakan hidup!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Koja, Gandhi, dan Spiral Kekerasan

25 April 2010   07:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:35 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_126344" align="alignleft" width="300" caption="Sumber: DetikFoto"][/caption]

Koja menjadi bukti telanjang kekerasan masih bercokol di muka bumi. Ketidakadilan menjadi akar dari kekerasan. Negara paling bertanggung jawab.

KEKERASAN TERUS berulang. Koja pun menjadi konten anyar dalam katalog kekerasan negeri ini. Apakah ini kekalahan seorang Gandhi? Begitu ujar seorang kawan dalam sepotong celotehan di tengah hari usai makan siang. Tragedi mencengangkan wacana kita yang baru terbekap oleh sinetron politik makelar kasus yang lagi riuh dalam pemberitaan media. Dan sepertinya mimpi seorang Gandhi—ikon pejuang antikekerasan— akan dunia yang nirkekerasan masih jauh api dari panggang. Kekerasan terus berulang. Darah pun tak kunjung henti tumpah di tanah. Kekerasan seolah mengabadi.

Pertanyaan seorang kawan tadi juga pernah dilontarkan oleh Dom Helder Camara dalam bukunya berjudul Spiral Kekerasan (1971). Uskup Agung Brazil cum pejuang antikekerasan ini mempertanyakan apakah Gandhi itu nabi atau pecundang. Mengingat di depan matanya, kekerasan dengan telanjang terjadi dengan intensitas yang lebih besar dan lebih mengerikan. Manusia lebih tampak seperti serigala bagi sesamanya seperti yang ditandaskan Thomas Hobbes dengan konsep homo homini lupus. Koja pun menjadi bukti gamblang betapa kekerasan masih mendominasi kehidupan saat ini.

Tragedi Koja adalah tragedi paling buruk dalam rangka penggusuran yang dilakukan oleh Satpol PP. Bahkan, di mata kebanyakan, sosok Satpol PP identik dengan kekerasan. Maklum saja, hal ini lantaran saking banyaknya peristiwa penggusuran baik pada rumah-rumah ilegal, pedagang kaki lima, anak jalanan, maupun tanah sengketa, yang berujung pada kekerasan yang diekspos habis oleh media. Lihat saja di televisi, berita tentang Satpol PP selalu dikaitkan dengan peristiwa penggusuran yang tak jarang berujung ricuh dan rusuh. Kata “pamong” yang melekat dari sosok Satpol PP jauh dari makna mengayomi, melindungi, dan memberi rasa aman. Ironis!

Tragedi Koja seperti menjadi titik puncak dari spiral kekerasan yang selama ini terjadi dan justru diciptakan oleh negara melalui bidak-bidak Satpol PP yang mengatasnamakan pembangunan dan penertiban dalam setiap aksi penggusuran. Selama ini, masyarakat kecil selalu dikalahkan dalam setiap peristiwa penggusuran. Tapi, Koja bak anomali di mana warga yang kena gusuran bangkit melawan. Bahkan, Satpol PP yang sering membuat warga gusuran sebagai bulan-bulanan gantian menjadi bulan-bulanan warga. Arogansi Satpol PP selama ini seakan ditelanjangi. Koja menjadi bukti konkret kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan baru. Bahkan, dalam skala yang lebih hebat dan membuat prihatin.

Saya teringat akan status di laman Facebook seorang kawan yang berbunyi: “Sejarah pembangunan negeri selalu berulang, yakni membangun di atas genangan air mata dan darah rakyatnya sendiri!” Betul sekali, pembangunan kota sekelas Jakarta, sering tak lepas dari peminggiran orang-orang kecil. Pembangunan selama ini hanya menguntungkan para pemilik modal. Buktinya, sementara lapak-lapak kaki lima dan pemukiman kumuh dihancurkan, Pemda DKI Jakarta memberi angin segar bagi para pemilik modal untuk membangun mal, real estate, perumahan mewah, maupun gedung-gedung pencakar langit.

Bahkan, pada taraf tertentu, pembangunan ini berjalan asal dan serakah. Mal berdiri di mana-mana yang tak jarang menanggu pemandangan, merusak tata kota, dan terlebih menyinggung rasa keadilan masyarakat bawah. Dan, sudah menjadi rahasia umum, di hampir setiap penggusuran sebuah lokasi masyarakat bawah, ada kepentingan pemilik modal di baliknya. Selang waktu usai penggusuran, di tempat yang sama, dibangun pusat perbelanjaan atau perumahan mewah. Tindakan represif dari pihak keamanan, baik polisi, tentara, maupun Satpol PP hanya menjadi alat memuluskan kepentingan pemilik modal itu. Realitas ini membantah tegas janji kampanye Gubernur DKI Fauzi Wibowo (Foke). Ternyata, Jakarta bukan untuk semua! Jakarta hanya untuk pemilik modal.

Spiral Kekerasan

Malam hari di hari Tragedi Makam Mbah Priuk itu, Presiden SBY meminta eksekusi makam Mbah Priuk dihentikan dan pihak yang bertikai untuk meredam emosinya. Sebuah pernyataan sumir dari seorang kepala negara yang jauh dari penyelesaian masalah. Kekerasan di Tanjung Priok menjadi bukti ketidakbecusan negara dalam memberi rasa aman warganya. Padahal, akar kekerasan tak lain adalah dizoliminya rasa keadilan masyarakat.

Lepas dari permainan kepentingan di dalamnya, penggusuran Makam Mbah Priuk merupakan gaya pembangunan Jakarta yang berjalan pragmatis. Menganggap sepi rasa perasan masyarakat, konteks historis dari makam itu, dan identitas tanah leluhur. Makam itu tidak sekadar makam. Tapi, mempunyai relasi kuat antara makam dan warga. Mengingat makam itu menjadi ruang spiritual bagi sebagian warga—tak hanya Jakarta—dan menjadikannya tempat ziarah. Makam telah menjadi bagian dari jatidiri orang-orang yang terlibat dengannya. Ketika makam itu diusik atas nama penertiban, jati diri warga juga turut dilukai.

Kapan pembangunan Jakarta tidak menghamba pada kepentingan modal alias adil bagi seluruh warganya? Maklum, ketidakadilan adalah akar dari kekerasan. Ini ditandaskan oleh Dom Helder Camara dalam teori Spiral Kekerasannya. Teori yang ia bangun dari pengalaman bersentuhan langsung dengan praktik ketidakadilan ini, menandaskan ada tiga bentuk kekerasan yang saling terkait. Ketiganya adalah ketidakadilan, pemberontakan sipil, dan represi negara.

Dari ketiga macam kekerasan itu, bagi Camara, ketidakadilan menjadi sumber utama kekerasan. Camara menyebutnya dengan kekerasan nomer satu. Ketidakadilan sosial sering melahirkan kondisi subhuman di masyarakat—kondisi hidup di bawah standar layak sebagai manusia normal (bdk. Camara, 26-39).

Kondisi di bawah standar kemanusiaan itu memicu perlawanan di kalangan masyarakat sipil. Masyarakat turun ke jalan mengusung suara protes mereka. Sementara, pemerintah melihatnya sebagai ancaman dan perlu ditertibkan. Represi negara dikedepankan. Ketiga kekerasan ini terus bergulir dan saling terkait. Meski akar kekerasan secara kuat ditandaskan Camara, yakni ketidakadilan. Nah, selama masalah keadilan tidak diusung dalam proses pembangunan, kekerasan masih terus membayangi.

Demikian juga dengan kasus Koja dan kasus penggusuran lainnya. Selama keadilan tidak diwujudkan, kekerasan itu masih terus mengalir. Buktinya, belum selesai kasus Koja, kekerasan meledak di kawasan industri Batam. Ratusan buruh mengamuk sebegai ekspresi ketidakadilan dan pelecehan dari manajemen industri.

Negara paling bertanggung jawab atas kekerasan yang menimpa warganya. Terang saja, negara adalah institusi yang mempunyai kekuasaan memaksa pada warganya. Dan selama ini, negaralah yang mempertontonkan kekerasan yang ia lakukan pada warganya. Tidak hanya kekerasan fisik dengan kekuatan militeristik, tapi juga melalui undang-undang. Banyak undang-undang dan peraturan pemerintah yang tidak adil dan bersifat kekerasan pada warganya. Asal tahu saja, kekerasan negara inilah yang paling mudah ditiru oleh warganya. Persis seperti yang dikatakan Hannah Arendt bahwa kekerasan negara menular kepada warganya.Sebab itu, negara, baik melalui pemerintah pusat maupun daerah, kudu mengedepankan fungsinya sebagai pengayom warganya. Bukan sekadar pengayom dan pelindung bagi para pemilik modal. Bila ini tidak dilakukan, negara bakal kehilangan wibawanya dan warga unjuk sendiri kekuatannya. Ujungnya tak lain anarki seperti yang terjadi di Koja.

Kembali soal Gandhi. Apakah perjuangan antikekerasan sudah tidak ada giginya lagi? Tidak juga. Masih banyak para aktivis bersama warga menggalang kekuatan aksi tanpa kekerasan sambil terus menyerukan dibangunnya keadilan bagi semua. Perjuangan antikekerasan ini juga bukan kesia-siaan. Gandhi pun masih menjadi spirit gerakan nirkekerasan itu. Bukankah Gandhi sendiri menegaskan kekerasan sebagai cermin jiwa yang rapuh?

Dan selama ketidakadilan itu ada di bumi ini, kekerasan itu masih mengalir bak spiral. Terus dan terus. Banyak cara bisa kita lakukan untuk berperan dalam meredam arus kekerasan di masyarakat kita. Bukan dengan berdiam diri dan apatis—mengingat kita tak disentuh langsung oleh kekerasan itu. Tapi, dalam aksi konkret. Martin Luther pada Abad Pertengahan pernah bilang, “Kita tidak hanya dituntut tanggung jawab pada apa yang kita katakan dan lakukan. Tapi, juga pada apa yang tidak kita katakan dan tidak kita lakukan.”

Sumber: Blog personal http://katakataku.com (tempayan air kata-kata)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun