SIANG ITU cukup terik. Matahari nyaris tepat di atas ubun-ubun saat sepeda motor kami memasuki pemukiman nelayan di Muara Angke, Jakarta Utara. Hawa panas datang menyergap. Sesekali hengkang diterpa angin pantai. Tampak di bibir pantai, perahu-perahu nelayan tertambat rapi. Beberapa bangkai kapal terserak di tepi Sungai Angke—tepat di sisi gapura masuk pemukiman tersebut. Menjadikan suasana pantai menjadi kotor tapi eksentrik. Memacu adrenalin untuk segera menyusuri kawasan yang sudah mulai riuh para pekerja itu. Sumpek dan padat.
Di ruas jalan, mikrolet warna merah jurusan Grogol-Pluit-Angke beradu jalan dengan bajaj, ojek sepeda motor, ojek sepeda, dan pejalan kaki. Tenda-tenda pedagang kaki lima memenuhi sebagian bahu jalan. Berbagai barang, hasil tangkapan, dan jajanan siap makan digelar oleh para pedagang tersebut. Sementara angin pantai bertiup mengantar aroma khasnya.
Sekitar 200 meter dari gapura, berdiri sebuah gerbang di atas aspal tandus. Lengkap dengan gardu penjaga tempat petugas memungut retribusi pada setiap kendaraan yang memasuki kawasan. Kendaraan jenis truk dikenai retribusi Rp 1.500, mobil dikenai Rp 1.000, motor dan bajaj di kenai Rp 500. Di atas gerbang, terpampang tulisan “Anda Memasuki Kawasan Agrobisnis Perikanan Muara Angke.”
Pemukiman Angke ini didirikan pada tahun 1977 pada zaman Presiden Soeharto. Wilayah seluas 2.500 hektare itu menjadi salah satu destinasi kuliner serba ikan bagi warga ibukota. Kawasan ini—secara administratif merupakan wilayah Kelurahan Kapuk Muara, Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara.
Dari pintu masuk, kami langsung disuguhi hamparan berbagai jenis ikan, udang, kerang, cumi yang tumpah ruah di sana. Bau amis pun langsung menusuk hidung. Ditambah dengan bau comberan hitam tergenang di pinggir jalan, di bawah meja dagangan. Sementara, ikan-ikan segar dan sebagian masih menggelepar—pertanda belum lama diambil dari laut.
Suara pembeli bernegosiasi harga dengan pedagang menambah suasana pasar ikan itu menjadi kental. Sesekali suaranya mengeras sambil sedikit mengumpat akrab. Tampak seorang ibu bertopi pantai menenteng tas kresek penuh kerang. Dengan wajah sumringah, tanpa lama tas itu terjerembab ke dalam bagasi mobil.
Motor kami terus menerobos kerumunan. Kami memarkir motor di bibir dermaga. Di batas cakrawala, tampak beberapa gundukan tanah seolah menyembul dari dalam laut. Itulah pulau-pulau di kawasan Pulau Seribu. Asal tahu saja, untuk mencapai Kepulauan Seribu, dermaga Angke bisa menjadi alternatif titik bertolak. Sementara, di sela-sela perahu yang berderet merapat itu, banyak orang terbekap dengan kesibukan masing-masing. Merapikan jala. Mandi. Membersihkan geladak. Menggosok badan perahu dan sebagainya.
Ada empat orang pemuda dengan tampak tergopoh-gopoh menurunkan satu unit sepeda motor dari atas perahu. Sementara, beberapa orang berseragam kaos warna jingga bertuliskan “Aku Cinta Laut Bersih” sedang membersihkan galangan kapal hidrolik pengakut sampah. Merekalah pasukan kebersihan dari Suku Dinas Kebersihan Kotamadya Jakarta Utara. Tugasnya tak lain adalah menjaga kebersihan dermaga.
Di sebuah pelataran aspal yang menjorok ke pantai, tampak dua orang lelaki sibuk mendorong gerobak berisi galon-galon air. Mereka menjajakan ari bersih kepada para pedagang di sana. Tahu sendiri, biasanya di kawasan pantai, air bersih susah diakses. Mungkin lantaran kecapekan, seorang dari mereka menepi dan masuk ke sebuah rumah terbuka yang biasa digunakan sebagai tempat pelelangan ikan. Kami pun terlibat dalam sepenggal obrolan.
Namanya Suparman. Asalnya dari Tangerang. Katanya, ia sudah menjalani kerja sebagai tukang usung galon air selama sepuluh tahun. Tiap pagi, bertolak dari Jembatan Lima, mulai berkeliling untuk menjajakan air bersih di kawasan dermaga. “Di subuh hari, saya sudah mendorong gerobak. Tapi, sampai siang ini, pembeli tidak begitu banyak. Memang musiman kok, mas. Saat kapal mau melaut, biasanya dagangan laku banyak,” katanya.
Lelaki yang suka dipanggil Parman ini menjajakan 10 galon air tiap gerobaknya. Satu galon air ia jual dengan harga Rp 1.000. Kalau laris, ia bisa menghabiskan 15 gerobak dalam sehari. Keuntungan ini ia gunakan untuk menghidupi istri dan kedua anaknya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Setelah terlibat obrolan sejenak, kami pun melangkahkan kaki, menyusuri jembatan yang menjorok dan memanjang ke laut.
Tampak beberapa beberapa lelaki sedang merendam diri dalam air di kanan kiri jembatan. Mereka menebarkan jala dan menariknya lagi. Usut punya usut, rupanya mereka sedang mencari udang. Di atas jembatan, dibungkus plastik, beberapa ikan dan udang peci menggelepar sebagai hasil tangkapan. “Udang peci harganya lumayan Mas. Sekilonya bisa dijual Rp 70 ribu,” seorang penjala.
Asal tahu saja, di sekitar Angke, tepatnya dari Muara Angke sampai ke daerah Kamat terbentang hutan bakau (mangrove). Hutan yang difungsikan sebagai cagar alam ini membentang di sepanjang garis pantai sekitar lima kilometer. Di kawasan mangrove ini, tumbuh aneka jenis tumbuhan. Ada pohon bakau (Rhizophora mucronata), pohon akasia, pohon api-api, dan jenis rumput-rumputan lainnya. Sementara, faunanya terdiri dari burung, monyet, musang, dan katanya ada juga berang-berang. Selain menahan abrasi pantai dan menjaga ekosistem pantai, hutan bakau ini melindungi dari air pasang. Tapi, perilaku buang sampah sembarangan, membuat hutan ini kotor dan berpotensi menimbulkan banjir di sekitarnya.
Selidik demi selidik—menurut data, Muara Angke mempunyai sejarah kelam. Terbentang ke belakang sekitar lima abad silam. Tepatnya, pada zaman VOC– Vereenigde Oost-Indische Compagnie. Pada tahun 1700-an, pedagangan Belanda menuai kegemilangan. Tapi, pesain baru muncul, yakni pedagang Tionghoa yang sudah lama berdagang sebelum Belanda datang di bumi Nusantara.
Pemerintah Belanda memberlakukan regulasi yang intinya menghambat laju perdagangan Tionghoa. Tapi, tidak mempan. Situasi ini membuat Gubernur Jenderal Valckenier menghalalkan segala cara. Tragedi itu terjadi pada 9-10 Oktober 1740. Gubernur Jenderal memerintahkan pasukannya mengepung dan membumihanguskan perkampungan Tionghoa lokal. Tragedi ini memakan korban sekitar 10 ribu jiwa. Mayat-mayat mereka bergelimangan di berbagai jalan dan kali. Mayat-mayat itu dibuang ke Kali Besar. Kali Besar ini menghayutkan mayat-mayat itu ke kali-kali cabangnya. Salah satunya Kali Angke. Ilustrasi dan sepotong ceritanya bisa dilihat di Museum Fatahillah, Jakarta Kota. Nah, tempat terdamparnya mayat-mayat korban tentara kompeni itu di sebut sebagai Muara Angke. Kata “Angke” berasal dari bahasa Cina. Ang artinya darah. Ke artinya sungai.
Matahari mulai berayun ke Barat. Mendung berjalan pelan di atas Laut Jawa. Hawa tetap saja panas dan angin pantai terus menerus menampar tubuh kami. Kami melangkah menuju kompleks resto ikan, tak jauh dari tepi pantai. Asap mengepul di depan beberapa kedai ikan bakar. Batok kelapa kering sudah mulai menyala dan sebentar lagi siap dipakai mengeksekusi ikan. Menyusuri gang, para nelayan kedai dengan ramahnya menyilakan kami mampir. Semua serba ikan. Rasanya pun beragam. Ada yang terang-terangan memberi label ikan bakar khas Makassar. Ada lagi yang khas nusantara. Pengunjung bebas memilih ikan untuk dibakar. Interior kedai sederhana. Ada yang ditata dengan bangku berderet. Ada juga format lesehan.
Sebenarnya, ikan-ikan dari Angke ini tak hanya diolah di sini saja. Tetapi, kebanyakan resto-resto ikan yang bertebaran seantero Jakarta dipasok dari Muara Angke. Meski juga harus berkompetisi dengan mal-mal ikan yang sudah mulai hadir di pusat kota. Tidak hanya ikan, tapi juga cumi, lobster, kerang, dan sebagainya. Tergoda kami juga untuk mencicipi otak-otak yang berselimutkan daun pisang yang sedikit gosong karena dibakar. Gurih dan memikat lidah. Khususnya, setelah dicelup dalam sambal kacang. Ditambah dengan obrolan hangat penjaga tenda otak-otak ini berparas oval, berkacamata, dan bernama Indah. Otak-otak milik Indah ini dihargai satu bungkus Rp 500. Kata mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UIJ) yang lagi cuti kuliah ini, orang bisa berlangganan atau pesan dalam skala besar. Tentu, dapat harga khusus.
Tak terasa, sore mulai menyergap pantai. Beberapa kios ikan sudah tutup dan lengang. Sementara, resto-resto ikan itu mulai didatangi para pengunjung. Kami pun sayonara. Beranjak dari kawasan pantai dengan sepenggal kisah.
@ 2009- dari my personal blog http://katakataku.com
Foto dan Teks: Sigit Kurniawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H