Berbagai bencana alam akibat pengrusakan lingkungan di satu sisi merupakan ancaman bagi keberlangsungan hidup manusia, namun di sisi lain merupakan tonggak sejarah lahirnya kesadaran planetarian. Kesadaran planeter membuka wawasan bersama bahwa bumi merupakan planet kecil yang menjadi rumah (bahasa Yunani “oikos”) yang kita mukimi bersama dengan mahkluk-mahkluk lain. Dalam keterkaitan satu dengan yang lain itulah kita disadarkan bahwa kita tinggal di tempat yang sama, “rumah” di mana manusia tumbuh dan berkembang, hidup dan berjuang mengatasnamakan peradaban, bersama-sama mengupayakan masa depan kehidupan yang lebih baik.
Persoalannya adalah bahwa rumah tempat kita tinggal dan hidup saat ini sedang sakit dan mengalami krisis. Industrialisasi Eropa akhir abad 19 yang menghasilkan peradaban masyarakat industri dan berdampak pada tumbuhnya budaya konsumsi menjadi gejala awal bagaimana oikos kita mulai terserang penyakit. Sassatelli (2007: 43) bahkan berpendapat bahwa masyarakat konsumsi tersebut merupakan sebuah tipe historis yang sama sekali baru yang tidak dikenal sebelumnya dalam sejarah. Karakteristik historis semacam itu tampak dalam gejala-gejala maraknya mal dan pusat-pusat perbelanjaan, pusat-pusat hiburan, pasar-pasar swalayan, dan berbagai tempat dengan judul departement store.
Tingginya kebutuhan konsumtif mengantarkan manusia pada budaya baru konsumerisme, budaya yang menempatkan bumi dan lingkungan alam sebagai lawan untuk ditaklukkan dan dieksploitasi. Karena budaya itu, manusia lupa pada kodratnya yang oleh Martin Heidegger disebut sebagai In-der-Welt-sein (Berada-dalam-dunia). Manusia tidak terletak “di atas” bumi, melainkan “bermukim” di bumi. Bermukim berarti juga tinggal dalam kebetahan dan kebiasaan keseharian, bukan hanya karena obyek materialisasinya (tanah, pohon, sungai, hewan, dan lain-lain), tetapi juga kekuatan-kekuatan yang melingkupi sebagai tempat bermukim.
Oikos bukan hanya sekedar sebuah bangunan yang sering disebut “house”, tetapi lebih dari itu sebagai sebuah “kediaman” (tempat untuk diam, berhenti, berakar) yang dalam bahasa Inggris disebut “home”. Kelayakan dan kenyamanan oikos sangat tergantung pada bagaimana cara manusia mengubah cara pandang dalam mengatasi krisis lingkungan hidup. Tu Wei Ming (1994: 25) bahkan menyarankan agar manusia kembali pada kebijaksanaan lokal (local wisdom) dan pandangan-pandangan religius yang mendukung upaya pelestarian lingkungan hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H