Mohon tunggu...
Sigit Kristiantoro
Sigit Kristiantoro Mohon Tunggu... Guru - Kepala Divisi Pendidikan Yayasan Tarakanita

Menggali dan mencintai filosofi dari banyak peristiwa dan pengalaman, termasuk dari dunia pendidikan (Bekerja di Yayasan Tarakanita).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membudaya Bisu

10 Maret 2016   10:12 Diperbarui: 10 Maret 2016   10:24 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senang bukan kepalang ketika salah satu teman semasa kuliah dulu berkunjung ke rumah setelah cukup lama waktu tidak bertemu. Dan lebih menyenangkan lagi ketika kedatangannya membawa segudang cerita pengalamannya berkecimpung di sebuah lembaga penyelenggara pendidikan dasar Sanggar Anak Alam (SALAM). Kisah-kisah menarik itu rupanya yang kemudian dikisahkan dengan sangat baik dalam sebuah buku yang juga dibawanya berjudul “Sekolah Biasa Saja” karya Toto Rahardjo. Kesan pertama ketika berbagi cerita, secara substantif peran dan fungsi pendidikan pada hakikatnya sama, perbedaannya mulai tampak ketika sampai pada tataran implementasi.

Dr. Sylvia Tiwon, pengajar di University of California, Barkeley memberikan prolog yang sangat inspiratif, lagi-lagi karena sangat dekat dan kontekstual dengan kehidupan kita saat ini. Dalam prolognya, Dr. Sylvia mengangkat fenomena “budaya bisu” di tengah-tengah semakin ramainya semesta karena kemajuan dan perkembangan teknologi informasi. Lihat saja, media sosial menjadi salah satu gejala paling kelihatan yang menampakkan wajahnya melalui berbagai fitur digital berbasis internet. Media-media itu memberi ruang bagi para penggunanya untuk saling menyapa, berbagi informasi, berdiskusi, bahkan membentuk kelompok-kelompok dunia maya yang beranekaragam.

Eksresi dan kreasi seolah mendapatkan tempat yang paling nyaman, kesamaan kepentingan dan kolaborasi berbagai kebutuhan bertemu menjadi satu dalam jaringan. Semakin banyak orang berkesempatan untuk mengeksplorasi dirinya, pengetahuannya, situasi dan kondisinya, masalah-masalahnya, keinginan dan harapannya, atau juga produk-produk jualannya. Slogan-slogan bernada humanis menjadi trend status yang hangat, meski tak jarang sebagian besar darinya adalah pengulangan-pengulangan yang disesuaikan. Penjelajahan imajinasi yang sulit dihentikan, semata-mata karena media sosial memang tak mengenal batas, bahkan memberi ruang kebebasan yang juga tak terhingga.

Keluasan jangkauan media sosial berpengaruh pada terbentuknya pola-pola relasi, meski sejatinya masih dalam ranah Quantity, dalam istilah Dr. Sylvia masih berorientasi pada massa pengikut alias follower. Konsep friend dalam facebook misalnya, terlepas dari kedekatan dan intimasi masing-masing usernya, toh masih tetap bermuatan kuantitatif yang tidak jauh berbeda dengan mengumpulkan sebanyak mungkin orang (meskipun dalam facebook jumlah “teman” dibatasi tidak lebih dari 5000). Semakin banyak teman, semakin ramai diskusi dan curhatan aksara, meski tetap saja membisu tanpa suara.

Entah sebuah kemajuan atau kemunduran, yang dalam banyak epik dikisahkan mengenai manusia sebagai mahkluk telanjang dan bisu, berbunyi tetapi tidak berbahasa. Pelajaran bahasa hanya mungkin diberikan oleh para Dewa dalam bentuk aturan-aturan jadi, hanya mungkin untuk ditiru (manusia menjadi peniru). Bahasa, kemampuan manusia untuk memahami dunianya, mengartikan relasi sosial dan membangun pengetahuannya, hanya mungkin datang dari atas. Manusia tidak mampu berdaya cipta, semata-mata karena hidup dalam keterbelengguan dan ketakmerdekaan, dan inilah rupanya embrio penindasan dalam konteks pendidikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun