Suatu sore di hari Minggu, sambil menunggu anak-anak mandi dan berganti pakaian, saya duduk di ruang tamu rumah sambil menyaksikan sebuah acara berjudul “Jangan Anggap Aku Kecil” di stasiun televisi Indosiar. Reality show sore itu berkisah tentang Arini, seorang gadis cilik penjual gorengan. Suatu kali ketika ia sedang berjualan bersama kakak lelakinya, ada seorang anak yang membeli gorengan. Sesaat kemudian ketika sedang menikmati gorengan, tiba-tiba si anak itu jatuh pingsan. Si ibu yang tepat berada di sampingnya langsung memarahi Arini dan menuduh kalau gorengan yang ia jual mengandung racun.
Bergegas si ibu membawa si anak pingsan ke rumah sakit dengan menggunakan angkot. Di sepanjang jalan si ibu hanya marah-marah kepada Arini. Tidak tahan dengan situasi itu, bercampur rasa takut atas tuduhan racun di gorengannya, Arini menangis tersedu. “Kamu kira kalau kamu nangis aku kasihan sama kamu?”, begitu bentakan si ibu melihat Arini menangis. Sampai di rumah sakit si ibu masih tetap memarahi Arini, bahkan sampai menyampar gorengan hingga tercecer sebagian di lantai. Beberapa saat kemudian dokter menjumpai si ibu dan mengatakan kalau anaknya sakit typus.
Kisah Arini merupakan satu dari sekian banyak episode acara serupa yang tayang di televisi swasta itu. Terlepas dari berbagai unsur dan kepentingan penyiaran, acara tersebut memberikan banyak pembelajaran. Di tengah-tengah maraknya rating sinetron yang tak jarang mengangkat dinamika kehidupan masyarakat menengah ke atas, acara-acara reality show dengan tipe dan karakteristik yang mengangkat daya juang mempertahankan hidup yang serba susah rupanya masih juga menjadi pilihan.
Acara-acara visioning dengan tema melawan kemiskinan di tengah-tengah budaya konsumerisme, melawan kelaparan di antara kasus-kasus korupsi, melawan kebodohan di tengah carut-marutnya sistem pendidikan, seakan-akan mengisahkan realita masyarakat kebanyakan. Lihat saja, ada banyak acara-acara serupa yang nyatanya menjadi cerminan kehidupan masyarakat, ada “Jika aku menjadi”, “Tukar Nasib”, “Tolong”, “Orang Pinggiran”, “Bedah Rumah”, dan lain-lain acara sejenis.
Sebagai pemirsa, rasa iba dan miris tentu sah-sah saja. Masih banyak di luar sana saudara-saudara kita yang kesulitan hidup, tidak punya tempat tinggal layak, kesulitan mencari makan, perjuangan berat untuk bisa sekolah, dan lain-lain penderitaan. Sorot kamera yang ditayangkan itu seolah menjadi sorot mata belaskasihan yang diharapkan berujung pada kegembiraan dan sukacita karena akhirnya banyak orang tersentuh dan tergerak untuk membuat perubahan, dan itu... butuh lebih dari sekedar janji yang banyak terpampang di baliho pinggir jalan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H