Mohon tunggu...
Sigit K
Sigit K Mohon Tunggu... -

tidak ada yg benar. \r\nsegalanya diperbolehkan \r\n(falsafah assassin)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Strategi Memilih Dalam Demokrasi Yang Penuh Dengan Kepalsuan

1 Januari 2013   15:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:40 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilu. Hajatan besar yang menghabiskan banyak uang. Atas nama aturan perundangan dan upaya mencegah kekacauan politik, pesta lima tahunan ini wajib dilakukan. Tidak peduli nantinya akan ada kecurangan, penghasutan, maupun ketidakadilan. Yang penting kita sebagai bangsa mampu menunjukkan pada dunia bahwa kita adalah negara demokratis. Pemimpin dan partai yang terpilih adalah hasil pilihan dari sebagian besar rakyat, maka mau tidak mau siapa pun harus menerima putusan itu.

Sebagai rakyat jelata, tidak ada yang bisa kita lakukan selain mencoblos dan mencoblos. Kadang dalam setiap coblosan yang kita lakukan, ada harapan yang kita tanam. Tidak dapat dipungkiri pesta demokrasi yang sangat mahal ini juga memberikan harapan bagi pemilih akan perubahan dan kondisi yang lebih baik di tahun-tahun ke depan.

Dalam tulisan ini saya mencoba menawarkan strategi untuk memilih dalam setiap acara pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah. Namanya juga strategi, maka bisa berhasil bisa juga tidak. Cara yang saya tawarkan belum tentu cocok dengan situasidan kondisi yang terjadi. Walaupun begitu saya tetap berharap agar strategi ini dapat dipelajari dengan baik. Semoga dengan strategi ini bisa memberikan inspirasi bagi yang membaca untuk menemukan strategi lain yang lebih baik dari yang saya ajukan. Cara ini mengambil sudut pandang dari masyarakat umum yang tentunya tidak semua orang bisa cocok dengan strategi ini. Cara ini bukan ditujukan bagi para kader partai maupun orang yang fanatik terhadap figur seseorang. Anda boleh menyebut cara ini oportunis dan tidak berprinsip. Namanya juga cara, boleh dipakai boleh juga tidak. Aturan mendasar dari strategi ini adalah jangan terlalu mengidolakan figur maupun partai tertentu.

Seperti yang kita ketahui bahwa manusia kadang mempunyai sifat yang berubah-ubah. Pada kondisi tertentu ia bisa berlaku layaknya pahlawan, tetapi pada kondisi yang berbeda ia malah bisa menjadi penjahat. Karena itu tidaklah mengherankan jika seorang aktivis yang dulunya bukan siapa-siapa dan tidak punya apa-apa, tetapi ketika berada pada posisi yang nyaman ia akan terlena dan menjadi orang yang dulunya malah ia hujat sendiri. Orang yang selalu mengkritisi atau menghujat orang lain ketika ia belum pernah merasakan posisi tersebut maka kritikannya tidak membuat ia menjadi orang yang lebih baik. Untuk itulah ketika kita tertarik pada seseorang karena kritik yang ia lontarkan janganlah membuat kita terlena sehingga terlalu memujanya sebagai pahlawan penyelamat bangsa. Sekali ia dijajal dengan cobaan kekuasaan dan kenikmatan, maka di situlah sifat aslinya bisa muncul.

Partai sebagai suatu organisasi politik juga sarat dengan berbagai macam kepentingan. Tidak peduli partai berlandaskan agama maupun nasionalis, sekali mereka berada pada puncak kekuasaan maka ada kecenderungan untuk melakukan penyelewengan. Setiap organisasi dihuni oleh berbagai macam orang dengan kepentingan pribadi yang berbeda-beda. Ia akan menjadi magnet bagi orang-orang yang tamak dan haus akan kekuasaan terutama ketika partai tersebut berada pada puncak kekuasaan. Jadi jangan heran jikalau banyak elit politik yang suka berganti-ganti partai agar dapat mempertahankan dirinya di puncak kekuasaan.

Ketika suatu partai semakin membesar, maka ia akan membutuhkan banyak sumber daya, terutama uang. Di sinilah orang-orang yang haus akan kekuasaan menawarkan diri mereka beserta penghasilannya untuk ikut bergabung dengan harapan agar bisa menambah kekayaan atau terhindar dari jeratan hukum karena dekat dengan pusat kekuasaan. Kondisi partai yang semakin menanjak dan semakin haus sumber daya ini membuat partai mau tak mau menerima mereka apa adanya sekalipun ada apanya. Di sinilah terjadi hubungan yang saling menguntungkan. Partai butuh duit untuk berkembang, sementara merekabutuh kekuasaan. Sekali lagi, tidak peduli partai berlandaskan agama maupun nasionalis, semuanya akan mengalami gejala seperti ini ketika berada pada puncak kekuasaan.

Partai dan pemimpin adalah 2 objek yang kita pilih. Sifat keduanya yang bisa berubah-ubah menuntut kita untuk berubah-ubah pula. Kita tidak perlu terlalu fanatik terhadap obyek yang kita pilih. Kita adalah pemilih lepas! Jika ada pemimpin yang disukai, kita berhak untuk memilihnya. Tentunya baik atau tidaknya tergantung penilaian masing-masing, sekalipun saya lebih condong pada pemimpin yang jauh dari pusat kekuasaan. Siapa pun pemimpin yang kita pilih dan berhasil menang, jangan pilih dia lagi pada periode berikutnya. Poin inilah yang kadang sulit diterima terutama jika kinerjanya selama ini cukup baik. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, godaan kekuasaan itu memperdayakan. Ia menggerogoti secara perlahan idealisme seseorang. Orang yang sudah duduk enak, semakin lama semakin sulit untuk melepaskan kenyamanan tersebut. Kalaupun dia tetap konsisten menjalankan idealismenya, tidak ada yang bisa menjamin bahwa keluarga maupun orang terdekatnyatidak akan terpedaya. Ingatlah bahwa penyalahgunaan kekuasaan dapat pula dilakukan oleh keluarga dan orang terdekatnya sekalipun pribadi pemimpin tersebut masih tetap konsisten. Dia akan berada pada kondisi sulit jika harus memenjarakan keluarga maupun orang terdekatnya sendiri. Yang terjadi adalah pemimpin itu cenderung membiarkan kondisi penyelewengan ini tetap terjadi sekalipun ia tahu dan tidak ikut menikmatinya.

Strategi memilih partai juga dapat dilakukan dengan mekanisme yang sama, walaupun partai tersebut pada mulanya didirikan oleh orang-orang yang jujur dan asasnya sesuai dengan ideologi kita. Pilihlah partai yang jauh dari pusat kekuasaan, bahkan kalau perlu partai kecil karena masih dihuni oleh orang-orang yang masih idealis. Apabila partai yang kita pilih itu menang dan menduduki kekuasaan, maka mulailah orang-orang tamak akan ramai-ramai bergabung. Pada kondisi tersebut tidak ada yang bisa kita lakukan untuk mencegah semua itu karena kita cuma masyarakat biasa, bukan petinggi partai. Yang bisa kita lakukan adalah memilih partai yang berlawanan pada pemilu berikutnya sekalipun mungkin partai tersebut bukan partai yang kita sukai pada pemilu kali ini. Jika ada yang masih canggung dengan cara ini, maka semuanya dikembalikan pada ide awal bahwa kita tidak mengidolakan figur maupun partai tertentu.

Ketika partai mulai menjauh dari pusat kekuasaan, maka akan terjadi proses penyaringan alami yang mana orang-orang yang haus akan kekuasaan mulai meninggalkan partai tersebut. Karena itu partai yang berseberangan dengan partai penguasa, apalagi partai kecil, cenderung membela kepentingan rakyat. Sekalipun bisa saja mereka melakukan itu karena ingin mendapatkan simpati, tetapi setidaknya pada saat itu mereka berlaku benar.

Inti dari strategi ini adalah kita merotasi pemimpin dan partai bukan karena mereka berkinerja buruk, tetapi karena ingin menjauhkan mereka dari godaan kekuasaan yang terlalu lama. Untungnya partai yang ada di negeri ini tidak hanya dua, sehingga ada banyak pilihan kita untuk merotasi partai. Banyaknya partai juga membuat kita dapat memilih partai-partai lain yang sedikit mirip dengan pandangan politik kita.

Kondisi yang cukup berat adalah ketika kita sudah berpikir berulang kali namun tetap tidak ada calon lain yang pantas menggantikannya maka mau tidak mau kita harus memilihnya kembali. Apalagi akan muncul kekhawatiran bahwa program pro rakyat yang selama ini dijalankan oleh pemimpin yang lama akan berganti jika pemimpinnya diganti. Keadaan ini bisa disiasati dengan memilih anggota dewan atau parlemen yang bukan dari partai pengusungnya. Hal ini untuk meningkatkan pengawasan kepada pemerintah karena anggota dewan sebagai pengawas berasal dari partai yang berseberangan. Cara ini bukan berarti tanpa kelemahan. Oposisi yang terlalu kuat dapat menghambat proses pengambilan keputusan karena terjadi tarik ulur atas dua kepentingan yang berbeda. Anggota dewan yang sarat akan penyuapan juga tidak menjamin fungsi pengawasan akan berjalan dengan baik. Sekalipun begitu, kemungkinan terjadi kongkalikong politik dapat diperkecil ketimbang pemerintah dan partai pengusungnya sama-sama berkuasa.

Kecenderungan pemilih untuk memilih kembali pemimpin dan partai yang sama terjadi ketika pemerintah dirasa telah bekerja dengan cukup baik. Diharapkan dengan pemimpin dan partai yang sama akan tercipta harmonisasi yang akhirnya program yang dijalankan pemerintah bisa lebih ditingkatkan dan diputuskan dengan cepat tanpa ada banyak pertentangan dari anggota dewan. Walaupun begitu, pemimpin dan partai yang sama-sama berkuasa merupakan kombinasi yang buruk dan rawan akan penyalahgunaan kekuasaan. Yang mengawasi dan diawasi adalah satu kelompok yang sama. Sayangnya gejala penyelewengan ini baru akan terlihat belakangan sehingga sulit bagi pemilih untuk menyadarinya.

Sebenarnya kelompok pemilih lepas banyak sekali di negeri ini. Saking banyaknya, kelompok ini mampu mengaburkan hasil uji lembaga survei. Saat ini tindakan dari pemilih lepas masih tanpa arah dan strategi yang jelas sehingga sangat sulit untuk diprediksi. Jika pemilih lepas ini mampu diarahkan dengan baik, tentu hasil pilihannya akan lebih baik pula. Mengarahkan di sini bukan berarti mengajak untuk memilih figur atau partai tertentu, tetapi memberikan arahan strategi yang jelas bagaimana memilih pemimpin dan partai.Tidak harus strategi yang saya tawarkan, tetapi bisa juga dengan strategi lain yang lebih baik dan cocok buat mereka. Itulah yang masyarakat butuhkan sebagai pendidikan politik di tengah demokrasi yang penuh dengan kepalsuan seperti ini.

Salah satu prinsip dari politisi menyebutkanbahwa tidak ada kawan maupun lawan yang abadi, yang ada adalah kepentingan yang abadi. Prinsip ini sebenarnya juga bisa berlaku buat masyarakat umum seperti kita, tidak hanya monopoli elit politik. Tidak ada figur/partai yang kita cintai atau musuhi selamanya, yang ada adalah kepentingan yang selamanya. Yaitu kepentingan untuk mendapatkan pemimpin yang bisa membangun dan mengelola negara ini menjadi lebih baik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun