Cerita tentang pergumulan iman Abraham selama ini berfokus kepada apakah Tuhan memenuhi janjiNya kepada Abraham. Dengan cara apa Tuhan memenuhi janjiNya itu, sementara usia terus menggerogoti kemampuan Abraham dan Sara dalam memperoleh keturunan. Dalam kemustahilan yang akhirnya dipenuhi oleh Tuhan itu, ada bagian menarik yang terlewatkan. Ada sosok yang disebut dalam pergulatan iman Abraham itu. Ia memang hanya seorang hamba, tetapi memiliki peran sentral dalam hidup Abraham.
Ia adalah Eliezer orang Damsyik, hamba utama Abraham. Eliezer akan menjadi ahli waris Abraham, jika Abraham tidak memiliki keturunan. Kebiasaan yang berkembang di jaman itu adalah memperbolehkan suatu keluarga yg tanpa anak mengangkat seseorang dari luar keluarganya menjadi ahli warisnya. Ahli waris yg diangkat itu akan menduduki tempat kedua Jika seorang anak sulung lahir kemudian.
Eliezer yang telah diangkat menjadi ahli waris Abraham itu tahu benar akan segala keumungkinan itu. Jika Abraham tidak memiliki anak, maka warisan kekayaan bukan hanya akan diterima dirinya dan keluarga, namun sukunya, yaitu suku Damsyik, akan mendapatkan kehormatan dan kekuasaan yang luar biasa yang melekat kepada warisan itu. Namun jika Abraham memiliki keturunan, maka kemungkinan Eliezer mendapatkan warisan akan semakin mengecil.
Membaca kisah Eliezer yang dalam pergulatan iman Abraham ini sungguh mengejutkan hati. Jika ia seorang yang culas dan tamak, ia bisa memanfaatkan aji mumpung. Bukankah ia bisa berbuat apa saja untuk mendapatkan kemuliaan dan kehormatan dari warisan Abraham itu. Pasti Eliezer sungguh tahu tentang doa Abraham untuk punya keturunan. Dan itu berpotensi menjadi penghalang baginya mendapatkan warisan yang bisa memberikan kemuliaan bagi hidupnya, jika dibandingkan hanya menjadi seorang hamba.
Tetapi Eliezer sungguh berhati setia. Ia tidak memanfaatkan kepercayaan Abraham untuk keuntungan dirinya dan kaumnya. Meski untuk itu, ia tetap menjadi seorang hamba. Abraham tentu tahu kualitas seorang Eliezer sehingga memberikan kepercayaan kepadanya. Tetapi, godaan warisan yang sedemikian besar dari Abraham bisa saja meruntuhkan kesetiaan seseorang.
***
Oei Hui Lan adalah putri kesayangan seorang pria terkaya di Asia Tenggara, Oei Tong Ham, yang disebut-sebut pernah menjadi raja gula asal Semarang. Ayahnya meninggal tahun 1924 dengan meninggalkan warisan sebesar 200 juta gulden dan berbagai usaha bisnisnya. Kehidupan Oei Huan Lan seperti mimpi dalam telenovela. Penuh intri dan pertikaian keluarga karena harta warisan ayahnya yang menjadi petaka diantara 8 istri dan 42 anak lainnya. Warisan yang seharusnya menjadi berkah keluarga, menjadi sumber pertikaian tanpa henti. Kisah tragis Oei Hui Lan itu diceritakan dalam buku “Kisah Tragis Oei Hui Lan – Putri Orang Terkaya di Indonesia” yang banyak dipajang di toko buku Gramedia.
Lain Oei Hui Lan, lain pula Nina Wang yang menjadi wanita terkaya di Asia karena mewarisi harta suaminya, Teddy Wang yang diculik tidak tentu rimbanya, sebesar 42 trilliun rupiah. Konflik persengketaan harta warisan Teddy Wang dimulai antara Nina dan Mertuanya selama hamper lebih dari satu decade. Nina memenangkan perebutan harta warisan tersebut. Namun penyakit kanker merenggut nyawanya. Harta warisan itu menjadi kutukan yang tiada henti sejak tahun 2008 ketika kasus sengketa warisan antara keluarga Nina dan Tony Chan, seorang master fengshui yang menjadi kekasih Nina, masuk ranah hukum. Pertarungan habis-habisan dan penuh intrik politik untuk berebut harta dengan melibatkan banyak pengacara itu belum berakhir sampai sekarang.
Dunia ini banyak cerita tentang perebutan harta. Kisah diatas hanya dua dari sekian banyak elegi kehidupan manusia yang dipenuhi dengan berbagai trik dan aji mumpung. Memanfaatkan apa saja untuk meraih kemuliaan yang mewujud dalam harta dan kekuasaan. Sepanjang sejarah kehidupan manusia, berbagai intrik-intrik dan tipu daya muncul karena bersumber kepada kedua hal itu.
**
Cublak-cublak suweng, suwenge teng gelenter. Mambu ketundhung gudel, pak empo lera-lere. Sopo ngguyu ndhelikake. Sir-sir pong dele kopong. Lagu dolanan anak-anak ini mengingatkan saya akan nilai-nilai keutamaan hidup sebagai manusia. Semua tindak-tanduk kita bersumber kepada nilai-nilai yang kita pegang sebagai manusia.
Cublak adalah tempat atau wadah untuk menaruh anting yang menjadi perhiasan wanita Jawa (suweng). Cublak suweng adalah tempat menyimpan harta yang sejati. Banyak manusia berpikir bahwa harta sejati itu ada dalam bentuk bendawi dan kekuasaan. Mereka melekatkan dirinya kepada harta yang dianggap mampu memberikan kebahagiaan yang sejati. Padahal kebahagiaan sejati itu sudah ada berserakan (teng gelenter) di sekitar kehidupan manusia itu sendiri. Yang dibutuhkan adalah sebuah sikap peka untuk bersyukur dalam setiap kehidupan kita.
Rasa tidak puas dan kurang bersyukur menjadikan manusia seperti anak lembu (gudhel) yang bodoh itu. Ego dan keserakahan akan harta menjadi pemicu tindakan korupsi. Semua bersumber kepada cara pandang yang salah tentang nilai-nilai kebahagiaan hidup. Mereka berpikir, semakin banyak harta, semakin dekat dengan kebahagiaan. Kekuasaan dan jabatanpun sampai dipermainkan demi kepuasan akan harta itu.
Manusia yang sudah dikuasai oleh keserakahan digambarkan seperti orang yang kebingungan akan apa yang hendak dilakukan (pak empo lera lere). Orientasi keutamaan hidupnya sudah bergeser kepada sesuatu yang bersifat kebendaan. Tidak ada rasa syukur atas apa yang dimilikinya, tetapi yang ada hanyalah rasa dahaga dan tidak puas terhadap apa yang sudah dimilikinya. Perubahan orientasi ini membawa kepada perubahan sikap hidup yang lebih di dominasi kepada ego pribadi. Dan integritas pribadipun bisa menjadi korban.
Sir pong dele kopong, sir pong dele kopong, sir pong dele kopong. Ujung syair lagu dolanan ini sungguh memberikan kesadaran betapa pentingnya memelihara nurani (sir) itu dalam hidup kita sebagai manusia. Nurani itu harus diasah, dijaga, dipelihara agar kekuasaan dan jabatan tidak memenjarakan kita sehingga kita mengorbankan nilai-nilai keutamaan hidup demi mengejar, katanya, “suweng” sejati itu. Jabatan dan kekuasaan adalah amanah dan panggilan untuk bertanggung jawab kepada banyak orang, dan bukan jalan untuk mencari “suweng” itu.
Eliezer barangkali mewakili manusia yang bersandar kepada nilai-nilai keutamaan hidup itu. Ia tidak silau dengan harta dan kekuasaan. Ia tidak mau berbuat culas dan merebut harta. Ia bersyukur meski ia tetap menjadi seorang hamba. Ia setia kepada tanggungjawabnya dan tidak akan berkhianat kepada nilai-nilai kesetiaan yang menjadi pegangannya. Mungkin Eliezer menemukan “suweng”nya itu dalam jabatan hamba yang dipegangnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H