Mundurnya ketua DPD DKI Jakarta beberapa waktu sempat menimbulkan tanya besar, benarkah Boy Sadikin kecewa terhadap anggota legistatif DPD PDIP Jakarta di Kebon Sirih atas sikapnya terhadap Perda Reklamasi ? Dalam wawancara dengan Kompas.com,putra mantan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin itu menyatakan bahwa fraksi PDIP Jakarta di DPRD tidak memperhatikan rakyat kecil dalam meyikapi Perda Reklamasi, dalam hal nelayan di sekitar Pulau Reklamasi.
Atas ketidakpatuhan anggota DPD DKI Jakarta tersebut, Boy Sadikin merasa kecewa karena himbauannya tidak digubris, lalu memilih mundur dari jabatan Ketua DPD PDIP DKI Jakarta. Bila ditelaah, substansi dari persoalan tidak signifikan, karena sebenar bisa dibicarakan, toh mereka yang duduk di Kebon Sirih juga kolega di DPD DKI Jakarta, teman seperjuangan. Ini lah anehnya sikap politik Boy Sadikin, padahal prestasi kepemimpinannya sebagai Ketua DPD Partai moncong putih itu cukup bersinar, di dua pemilu terakhir dan Pilkada DKI Jakarta yang memenangkan Jokowi – Ahok tak bisa dipungkiri.
Apa sebenarnya penyebab dibalik kemunduran Boy tersebut masih menjadi pertanyaan besar, namun bila kita putar waktu ke belakang, meski menjadi ketua DPD DKI Jakarta, Boy belum menjabat sebagai orang no. 1 di legislatif, bahkan di pemilu 2014 namanya tidak tercantum sebagai anggota DPRD di Kebon Sirih. Periode sebelumnya Boy pernah menjabat wakil ketua DPRD DKI Jakarta mengganti kan Sayogo Hendrosubroto yang memasuki masa pensiun.
Sayup–sayup terdengar dalam Pilkada DKI Jakarta lalu, nama Boy sempat digadang – gadang menjadi calon Gubernur DKI Jakarta, tiba – tiba namanya tenggelam dan digantikan oleh Walikota Solo, Joko Widodo. Meski tidak mendapat restu dari DPP di Lenteng Agung, Boy total mendukung Jokowi Ahok hingga meraih kursi DKI 1.
Apa yang salah dengan Boy Sadikin sehingga DPP PDIP tidak memberikan restu terhadap Boy Sadikin menuju DKI 1, padahal mesin politik partai “moncong putih” di DKI Jakarta itu siap memenangkannya menuju jabatan Gubernur seperti mendiang Ayahandanya. Setelah Jokowi naik menjadi RI 1, harapan untuk mengganti posisi Jokowi sebagai Gubernur kembali terbuka, nama Boy Sadikin kembali mencuat di permukaan, nasibnya seperti di Pilkada sebelumnya, namanya hilang dari bursa pencalonan. Tiba – tiba nama Djarot yang mengemuka, dan mendapat restu dari Lenteng Agung. Sebuah tragedi politik yang tidak mudah bagi Boy Sadikin, seolah merasa perjuangannya untuk kebesaran partai tidak berbalas.
Beberapa waktu kemudian, sikap politik Boy Sadikin lebih kristis terhadap Gubernur DKI Jakarta pengganti Ahok, terutama menyangkut isu – isu krusial seperti Raperda Reklamasi yang ujungnya menyeret ekskutif di perusahaan pengembang pulau dan seorang anggota DPRD DKI Jakarta pimpinan Prabowo.
Persidangan di Pengadilan Tipikor terhadap Sanusi, anggota DPRD Fraksi Gerindra hingga kini belum vonis, masih berjalan. Bukan tidak mungkin menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017, sejumlah anggota DPRD DKI Jakarta akan ikut menjadi tersangka bila Sanusi berpihak kepada KPK menjadi “wisthlerblower”.
Mungkin abangnya sendiri, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, M. Taufik bisa terseret, dan ini akan menjadi kali kedua bagi M. Taufik menjadi pesakitan selama menjadi pejabat publik. Pada waktu menjadi Ketua KPUD Jakarta, M. Taufik pernah divonis penjara karena kasus korupsi, vonis tidak sampai 1 tahun, jadi mantan Ketua PRSSNI ini bisa kembali menjabat sebagai Komisioner di KPUD DKI Jakarta.
Kita lihat nanti bagaimana permainan di DKI Jakarta menjelang Pilkada 2017, kian dinamis dan seru,. DPD DKI Jakarta meski secara formal adalah pemangku kepentingan perpolitikan wilayah DKI Jakarta, pada kenyataannya tidak bergigi karena harus selalu melihat tanda lampu dari Lenteng Agung. Disinilah Boy Sadikin mengalami kegamangan, di satu wibawanya di Kebon Sirih tidak diapreasiasi sebagai Ketua DPD DKI Jakarta, sebab legislator PDIP Jakarta lebih memperhatikan tanda lampu dari Lenteng Agung, bukan dari arah Tebet, kantor DPD DKI Jakarta.
Meski menyatakan mundur sebagai ketua DPD, Boy tidak mengundurkan diri sebagai kader partai, bagaimanapun PDIP adalah yang ikut dibangunnya dengan perasan keringat dan darah pada era Orde Baru, dimana banyak warga Jakarta lebih memilih jalur aman daripada jalur bahaya menghadapi rezim Orba. Dalam hal ini sikap Boy patut diteladani, meski memendam banyak perasaan tidak menentu terhadap elit – elit partai, dia tetap komit terhadap partai yang dibesarkan dan membesarkannya.
Sikap politik DPD DKI Jakarta sepeninggal Boy terlihat kurang koordinasi dengan Lenteng Agung, Bambang DH didapuk sebagai Plt. Ketua bermanuver dengan partai – partai anti-Ahok dalam sebuah koalisi cair yang menamakan diri koalisi kekeluargaan. Melihat trik Bambang DH, Lenteng Agung kurang “sreg” karena Megawati mempunyai agenda poltik besar lewat sosok Ahok, demikian juga RI 1 sebagai bekas atasan Basuki Cahya Purnama. Bambang DH ditarik kembali ke DPP digantikan oleh Adi Wijaya yang sebelumnya menempati posisi Bendahara di era Boy Sadikin.