Mohon tunggu...
Sigit Budi
Sigit Budi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Content Creator

Pembuat konten video, host podcast , selebihnya pengangguran banyak acara

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Kehampaan dalam Kemenangan Pilkada DKI Jakarta 2017

20 April 2017   00:53 Diperbarui: 20 April 2017   10:38 2677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Gelora kemenenangan saat ini  sedang tinggi - tingginya diantara penyokong Paslon No. 3 dalam Pilkada DKI Jakarta, rasanya memang mereka patut bergembira dan bersuka, dan menebarkan kata - kata bijak, pesan - pesan damai, persatuan dan menghamburkan kata - kata indah di media massa. Bertolak belakang dengan pesan - pesan kampanye lalu  yang sangat menakutkan, setidaknya buat saya sendiri. Kenapa menakutkan, "tim sukses bayangan" (bukan timses resmi) Paslon No. 3 telah memanfaatkan secara optimal kesadaran akan perintah Sang Pencipta demi sebuah tujuan kekuasaan. Tidak ada yang salah bila dilihat dari kacamata kepentingan politik, namun apakah aksi ini sebagai bentuk sembahan yang sempurna untuk Sang Pencipta? 

Mungkin saya terlalu cerewet, namun pesan - pesan dalam kampanye Paslon No. 3 bila diamati pasti membuat merinding, mengaduk - aduk nalar dan nurani kita bila masih ada kesadaran akan nurani dan masih mendengarkan kata hati yang suci.  Barangkali para pendiri negara kita akan menangis,  sedih, lesu, bagaimana mereka dahulu mengekspresi kesadaran akan nilai - nilai universal dalam UUD 1945 agar anak cucunya bisa menggunakan sebagai panduan nilai dalam berbangsa dan bernegara, ternyata kita tidak sama sekali menghargai mereka.

Bagaimana tidak, pendiri Republik ini telah "wanti - wanti" agar penerus bangsa ini tidak tersekat - sekat dalam cara berpikir primodial (Egaliter), menjunjung tinggi kesamaan antara sesama warga negara, ternyata kita melecehkan  nilai - nilai luhur itu demi nafsu berkuasa yang tak tertahan. Apakah kita tidak mempunyai metode ber-demokrasi yang lebih bermoral, lebih jujur, dimana di depan publik melontarkan kata - kata bijak, moderat, toleran, di sisi lain  membisu ketika sikap - sikap intoleransi, anti-moderat, sektarian, kekerasan, digunakan sebagai cara pemenangan.

Dalam politik memang  "sah-sah saja" menggunakan berbagai cara, meski dipandang secara moral, etika sangat  tidak elok, namun bila mengingat "kredo" warisan dari pendiri negeri ini, rasa kita telah berkhianat kepada mereka. Masih adakah negarawan di republik ini, yang berjuang demi kebenaran hakiki tanpa mementingkan golongannya, sukunya, rasnya?  

Secara ksatria, saya sangat mengacungkan 2 (dua) jempol kepada Ibu Megawati, keputusannya mendukung paslon No. 2 yang "double minority" sesungguhnya adalah sebuah wacana menguji moralitas kebangsaan dan kenegaraan kita. Ibu Megawati mampu memaknai ruh perjuangan  sang ayah, Soekarno yang menginginkan Indonesia menjadi negara besar, mandiri, bermoral, dan tidak terbelenggu oleh sekat - sekat suku, ras, dan agama,  dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.

 Sebuah resiko politik yang tidak populer bagi Megawati,  meski begitu Megawati berhasil membuka mata hati kita semua, bagaimana sebenarnya kesadaran sejati dalam berbangsa dan bernegara. Sebuah kemenangan bila dilakukan dengan cara - cara tidak elok, niscaya hanya sebuah kehampaan semata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun