Mohon tunggu...
Sigit Budi
Sigit Budi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Content Creator

Pembuat konten video, host podcast , selebihnya pengangguran banyak acara

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Fenomena Sosial Media Sosial

2 Mei 2015   10:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:27 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Ketika jalur formal dirasa mentok, sejumlah politisi menggunakan media sosial untuk mengaktualkan gagasannya. Terakhir SBY men-twitt koreksi nya atas utang Indonesia ke IMF, dan sempat menggelinding menjadi bola salju karena bawahan Presiden Jokowi menanggapinya. Yang menarik saat ini topik di medsos menjadi topik juga di media tradisional. Banyak kasus membuktikan itu, yg cukup fenemenal adalah surat terbuka penyanyi Anggun kepada Presiden soal hukuman mati bagi terpidana mati "Bali Nine". Seperti bensin disulut api ratusan mungkin juga ribuan twitt menanggapi surat Anggun C Sasmi.
Media sosial sebagai media non-formal memiliki komunitas besar, dan secara politik mampu mempengaruhi opini publik. Sukses kampanye penggalangan opini publik untuk mendorong orientasi pro atau kontra terhadap suatu kasus atau figur pertama kali sukses dimanfaatkan dalam pilpres Obama di AS saat menantang incumbent. Tim kampanye Obama sukses menggalang swing voters dan kalangan muda yang memang doyan hanging out di medsos.
Jumlah handphone di Indonesia kabarnya sudah mencapai 60 juta pengguna, jumlah yang fantastis, sudah seperti negara kecil tapi berbentuk virtual. Cuma negara ini sangat demokratis, dan lebih fair dalam memutuskan keberpihakan komunitas terhadap suatu kasus. Namun potensi followers yang cuma ikut2 juga cukup, mereka ini biasanya kurang memiliki referensi yang cukup dalam menganalisa sebuah kasus di masyarakat.
Lalu kemana sebenarnya arah tulisan ini? Penulis hanya ingin mengajak pengguna medsos untuk tidak asal2 menanggapi sebuah kasus dengan comment yang menyerang, sebab akan merugikan diri sendiri, atau sering disebut dengan pem"bully"an. Kedua, sebaiknya bersikap cermat dalam menganalisa sebuah statemen dengan memperhatikan siapa endoser nya, dari kelompok mana, dari situ terlihat makna di balik pernyataannya itu. Contoh paling mudah terlihat pada kasus-kasus menjelang pilpres menjelang putaran akhir, dimana kedua kubu saling mem"bully" satu sama lain.
Kalo hal seperti itu mudah sekali terlihat siapa yang bermain di belakang itu. Namun dalam situasi yang tidak ada pro kontra yang tajam, medsos juga dimanfaatkan oleh sejumlah kelompok kepentingan untuk kepentingan mereka. Berita paling santer adalah perekrutan ISIS lewat medsos yang diarahkan ke segment anak muda yang memang penggemar berat medsos.
Sebaiknya keluarga atau orang tua memantau aktivitas anak-anak mereka yang mulai giat di medsos, karena banyak peristiwa kejahatan bermula dari medsos. Kasus terakhir yang cukup memprihatinkan adalah kasus penodaan siswi 15 tahun oleh laki2 19 tahun yang dikenalnya lewat facebook. Semoga semua elemen masyarakat saling mengawasi dan mengingatkan keluarga terdekat agar tidak terjadi preseden yang lalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun