Matahari pagi itu bersinar sesuai waktunya, mengikuti putaran waktu yang telah dijadwalakan oleh yang Esa, tapi hari itu adalah hari istimewa buat aku dan anak – anakku. Sebuah peristiwa yang mengubah hidupku, orientasi hidupku, pengalaman batinku , entah apa masih banyak yang berubah sejak peristiwa itu.
“Pa, dadaku sesak aku pengin ke rumah sakit”,ujar wanita yang sudah kunikahi hampir 8 dengan 3 anak, 1 perempuan dan 2 laki-laki. Aku terdiam sejenak, pikiranku sedikit gagap setiap kali istriku mengajak ke rumah sakit. Terbayang sudah biaya yang mesti aku keluarkan untuk pengobatan, tapi sebenarnya bukan pengobatan tapi lebih kepada perawatan kesehatan. Sejak kami belum menikah, istri mengalami kelainan darah, menurut hasil lab dan analisa dokter spesialis darah, tingkat kekentalan darah istriku diatas batas normal.
“ya, aku cari taksi dulu”,ujarku
“Papa mau kemana ?”teriak anak sulungku.
“Cari taksi sayang, buat antar mama ke Rumah Sakit”.
“Ayo, buruan pake sendalnya, mama sudah kesakitan”.
Kami berdua berjalan ke arah jalan raya yang kebetulan tidak jauh dari rumah kami. Sebuah taksi berwarna akhirnya kami stop, lalu kami naik menuju rumah untuk menjemput istri dan kedua anak laki – laki ku yang masih berumur 3,5 dan 4,5 tahun.
Terlihat wajah istriku pucat, aku perhatikan tarikan nafasnya pelan, seperti berat untuk menarik oksigen dari hidung ke paru – paru. Lalu kami berlima memasuki taksi lalu aku minta sopir taksi mengantar ke sebuah rumah sakit yang biasa kami datangi.
Aku hanya berharap konsultasi dokter ini tidak disarankan untuk opname. Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya nama istriku dipanggil oleh seorang perawat, asisten dokter spesialis jantung itu. Seorang dokter yang sudah berumur 55 tahun, memegang stateskop lalu menempelkan ke dada istri. Setelah beberapa menit, dokter itu memanggil perawat untuk mengambil alat Elektrokardiografi (EKG) untuk mengukur detak jantung istri secara elektronik, dimana hasil rekaman itu bisa dicetak dalam kertas gulungan.
Aku keluar dari ruangan menuju ruang tunggu pasien dimana anak – anakku duduk menunggu kami. Ada sedikit perubahan pada raut wajah anak pertamaku, hari ini dia keliatan tidak ceria, seolah ada sesuatu yang menggayuti wajahnya. Aku berusaha mengalihkan pikiran negatif, aku mengajak mereka ngobrol, sambi l membukan makanan kecil yang sengaja kami bawa buat mereka. Kedua anak laki – laki keliatan masih polos, kebetulan jarak umur mereka hanya selisih 14 bulan.
Pada awalnya kami bersyukur dengan kelahiran kedua kami, karena sudah lengkap, kebetulan anakku kedua berjenis laki-laki, sehat dan ganteng. Pada masa kehamilannya istriku sangat menikmati kehamilannya, tidak ada keluhan – keluhan. Berbanding terbalik dengan saat kehamilan anak pertama kami, cobaan kami sangat berat, pada saat istri hamil bulan ke-6, dokter spesialis kandungan menyarankan agar anak kami digugurkan. Seperti sebuah geledek di siang bolong ketika aku mendengar advis dari dokter. Tak menyangka sama sekali, akhirnya dokter itu menyarankan kami pindah dokter ke sebuah rumah sakit bersalin besar di kota Jakarta, yang dibangun pada jaman Ibu Tien Suharto.
Kemudian kami pindah ke sana, dan bertemu dengan dokter yang biasa dengan kasus seperti istriku. Bahkan dia menyarankan agar istriku konsultasi dengan dokter spesialis darah, menurutnya penyebab janin dalam kandungan istri yang tidak tumbuh sesuai jadwal itu karena aliran makanan yang dibawa darah ke janin tidak lancar. Ternyata benar, ketikan kami berkonsultasi ke dokter spesialis darah, dokter meresepkan sebuah obat suntik yang harus di “inject” ke sekitar pusar istriku setiap hari sampai menjelang hari kelahiran.
Oh My God, apalagi ini. Berbagai kemelut dalam pikiranku, mengapa ini bisa terjadi? Tapi aku tidak bisa berpikir lagi, setelah pulang kami mampir ke rumah sakit untuk membeli obat suntik yang ternyata sangat mahal.
“Aku hanya berserah kepadaMu, Tuhan, apapun yang terjadi pada anak kami dan istriku kuserahkan kepadaMU”, doaku dalam hati.
Hari-hari kami lalui, akhirnya anak pertama kami lahir ke dunia, seorang bayi perempuan, terlihat lemah, dengan berat badan yang dibawah rata-rata. Aku tidak tahu harus bagaimana, inilah faktanya, aku punya seorang anak dengan kondisi yang kritis, setelah beberapa waktu di RS, anakku masih ditinggal di RS karena perlu penanganan intensif.
Sejak kelahiran anak pertamaku, kesehatan istriku naik turun, anehnya setelah 4 tahun kami memutuskan untuk memiliki momongan lagi. Meski masih dengan trauma kehamilan pertama, aku hanya berharap bila Tuhan ijinkan pasti bisa kami lewati. Ternyata doa kami dikabulkan, seorang anak laki lahir ke dunia. Setahun kemudian anak ketiga laki – laki kami lahir, namun sayangnya kondisi istriku lebih buruk dibandingkan saat kehamilan anak pertama, bahkan anak ketiga ku ini harus mengalami perawatan lebih lama di RS dibandingkan anak pertamaku.
“Bapak Budi, anda dipanggil dokter”, suara perawat itu membuyarkan lamunanku
Aku menuju ke ruang dokter lagi, dokter menunjukkan hasil pemeriksaan EKG, intinya hasilnya jelek, detak jantung istriku lemah. Dokter menyarankan agar istriku dirawat untuk memulihkan kondisinya. Lalu aku berdiskusi, karena sebenarnya istriku sudah bersepakat dengan dokternya di RS lain pada hari senin. Tiba-tiba anakku perempuan memasuki ruang pemeriksaan, ketika mendengar mamanya akan dirawat, ia menangis keras, tidak mau mama dirawat, tidak biasanya ia seperti itu, karena sudah beberapa kali istriku diopname setelah melahirkannya.