Mohon tunggu...
Sigit Budi
Sigit Budi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Content Creator

Pembuat konten video, host podcast , selebihnya pengangguran banyak acara

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Personil TNI Terpapar Radikalisme Setara 12 Batalion

20 Juni 2019   16:39 Diperbarui: 20 Juni 2019   16:47 1438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah sejumlah ASN yang tergabung di kementerian dan lembaga dikabarkan terindikasi paham radikal, kabar mengejutkan dari Menteri Pertahanan, Jend. (Purn) Ryamizard Racudu bahwa di tubuh TNI juga diindikasi sekitar tiga persen personil TNI terpapar paham ini. 

Kabar ini membuat saya mengernyitkan dahi dan terkejut ternyata paham radikal telah menyusup jauh ke dalam elemen masyarakat dan pemerintah termasuk TNI. Belakangan memang muncul berbagai penelitian tentang pengaruh paham ini di sejumlah perguruan tinggi besar dan birokrasi, namun ketika Menhan merilis fakta tersebut bakal membuat takut siapapun. 

Pernyataan Menhan tersebut konteks adalah keprihatinannya terhadap kelompok tertentu yang ingin mengganti ideologi Pancasila dengan khilafah negara Islam. Di acara Halal Bihalal dengan anggota aktif dan purnawirawan TNI yang dilangsungkan di GOR Ahmad Yani Mabes TNI, seperti dilansir Medcom.id (19/06/2019) ia memaparkan data Kemenhan tentang prosentase anggota TNI yang sudah terpapar paham radikal dan tidak setuju dengan ideologi Pancasila.

Dilansir dari Armedforces.eu.com tahun 2018 Indonesia berada di posisi ke-12 dengan jumlah personil aktif di Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebanyak 395.500 orang. Jumlah ini menempatkan Indonesia posisi ke-12 dalam daftar negara dengan jumlah pasukan tentara akftif terbanyak di dunia. Bila dihitung kasar jumlah anggota TNI aktif terpapar paham radikal adalah sebanyak 11.865 personil, jumlah cukup besar untuk sebuah kelompok terlatih dan bersenjata. Bila jumlah tersebut dikonversi ke dalam format organisasi militer dapat terbentuk sekitar 12 batalion. 

Sebagai tambahan informasi satu batalion diperkuat personil sejumlah 700 - 1000 orang biasa dipimpin oleh Mayor (senior) atau Letnan Kolonel. Jumlah anggota TNI yang terpapar paham ini setara dengan jumlah personil militer negara - negara kecil seperti Boznia, Gabon, Nicaragua, Republik Dominika, seperti dilansir Kompas.com (06/04/2019).

Persoalannya bukan soal kuantitas,  tidak artinya bila jumlah besar tidak ada inisiator atau pimpinan yang menggerakan personil bersenjata tersebut. Hingga saat ini indikasi sosok pimpinan berpengaruh di   organisasi militer aktif dengan jabatan setingkat Kepala Staf, Pangdam terpapar paham ini  belum terdengar. Namun untuk oknum - oknum purnawirawan TNI  bahkan mantan jenderal  yang tergabung ke organisasi radikal sudah menjadi pengetahuan publik. 

Bila awal pemerintah Orde Baru rezim Soeharto direpotkan dengan simpatisan PKI di tubuh militer dan pegawai negeri sipil, pada era reformasi ini pemerintahan Jokowi mempunyi pekerjaan rumah untuk membersihkan ASN dan TNI dan lembaga negara, BUMN dari pengaruh radikalisme.

Pengaruh radikalisme di organisasi angkatan bersenjata sangat berbahya, Mesir adalah contoh negara sekuler yang tercabik-cabik oleh aliran radikal yang memakan korban Presiden Mesir, Anwar Sadath. Ia ditembak mati oleh salah seorang personil militer yang berafiliasi dengan kelompok jihad saat parade militer di Kairo dalam peringatan keberhasilan pasukan Mesir dalam menyeberangi Terusan Suez di Operasi Badr tahun 1973 (Tirto 6/10/2017).

Saya tidak mengatakan bahwa Presiden RI Joko Widodo juga bakal mengalami nasib naas seperti Anwar Sadath pada 6 Oktober 1981, tapi mengingatkan kembali betapa berbahaya bila angkatan bersenjata telah disusupi kelompok radikal. Sadath terbunuh oleh granat tangan yang dibawa oleh personil  infantri AD Mesir bernama Letnan Khalid Islambouli. Khalid memberhentikan paksa truk militer yang membawanya tepat di depan panggung kehormatan, seperti dilansir Tirto.id ( 6/10/2017) ia memberikan hormat kepada Sadath sebelum melempar granat yang disembunyikan dibalik helmnya. 

Artikel ini bukan sebuah paranoid atau ketakutan berlebihan atas potensi ancaman kelompok radikal ini dari tubuh TNI. Sejarah telah merekam dengan baik, pada awal NKRI berdiri angkatan bersenjata RI juga pernah disusupi kelompok radikal selain komunis yaitu kelompok jihad pendukung Negara Islam Indonesia (NII) pimpinan Kartosoewirdjo. Tidak sedikit tentara saat itu bergabung dengan Tentara Islam Indonesia (DI/TII) termasuk Kahar Muzakkar eks milisi dan anggota militer pengawal kesayangan Presiden Soekarno. Saat rapat raksasa Ikada di Jakarta, 19 September 1945, seperti dilansir Okezone Kahar Muzakar adalah satu - satunya pengawal Dwi Tunggal Soekarno - Hatta yang bersenjatakan golok  saat itu dikelilingi hunusan bayonet tentara Jepang. 

Semoga keprihatinan Menham ini juga menjadi keprihatinan kita semua agar NKRI tetap utuh dari rongrongan radikalisme.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun