Kepanikan masyarakat awam terhadap melemahnya Rupiah terhadap Dollar tak bisa disalahkan, Indonesia pernah mengalami tragedi keuangan parah di akhir era Orde Baru. Sejak itu perekonomian Indonesia meski merangkak untuk mencapai kestabilan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar dan dampak sosial - ekonomi sangat membekas sebagian besar masyarakat.Â
Dalam situasi penguatan mata uang Dollar saat ini, tak dipungkiri ada juga yang mendapatkan keuntungan finansial yakni spekulan dan pemilik mata uang ini yang berjumlah besar. Bila saat ini ada himbauan utuk menukar  Dollar di masyarakat ke rupiah, sesungguhnya mubazir. Kenapa ?Â
Istilahnya uang tak mengenal nasionalisme dan agama, artinya keputusan terhadap investasi lebih pada pertimbangan pragmatis, seperti diungkapkan Staf Ahli Menkeu, Robert Leonard Marbun  pada Diskusi Media - FMB 0 (10/9) di Kemenkominfo , bahwa investor menanamkan dana mereka di beberapa negara emerging market (negara berkembang) termasuk Indonesia. Menurut Leonard, ketika salah satu  satu negara itu mengalami masalah yang berdampak pada perekonomian nasional, investor bergegas menarik investasi mereka di semua negara tersebut.Â
Menurut Kepala Departemen Internasional Kemenko Perekonomian Iskandar Simorangkir di acara itu, fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat, terbukti depresiasi Rupiah paling kecil  8,5 persen dibandingkan negara - negara emerging market lainnya. Sebagai gambaran,  yang terjadi di Turki mata uang Lyra terdepresiasi 40,7 persen, dan Peso Argentina terdepresiasi 49,62 persen. Saya tertarik dengan pernyataan Iskandar, bahwa ekspektasi negatif dari masyarakat  terhadap pelemahan Rupiah bisa memperburuk kondisi ekonomi nasional.Â
"Kita memang harus siap menghadapi penurunan rupiah ini, mau tidak mau. Tapi ini bukan merupakan hal yang baru. Tidak perlu ditakutkan. Kalau waspada iya. Hanya, ketakutan yang berlebihan itu tidak bagus. Saya banyak melakukan riset, bahwa kalau kita berpikiran negatif itu bisa mengakibatkan hal negatif.
Iskandar Simorangkir, Kepala Departemen Internasional Kemenko Perekonomian
Terbayang di benak saya peristiwa tahun 1998 ketika nasabah perbankan menarik dana simpanannya secara bersamaan, dan tak beberapa lama bank - bank itu almarhum. Tentu kondisi saat ini berbeda jauh dengan kondisi krisis keuangan 1998, secara statistik bisa ditelusuri di situs BPS data - data inflasi, cadangan devisa, suku bunga bank, nilai ekspor nasional saat itu dan hari ini untuk memberikan gambaran utuh kondisi faktual ekonomi nasional.
Upaya Pemerintah
Dalam era globalisasi tak ada satu negara pun bisa berdiri sendiri secara ekonomi, Korea Utara, China yang dikenal sebagai negara tertutup tidak alergi terhadap investasi dari luar negeri. Konsekuensinya pada setiap perubahan iklim ekonomi internasional negara bersangkutan juga akan terdampak, tak terkecuali Indonesia.Â
Fakta yang harus dihadapi adalah bagaimana supaya kita survive terhadap ketidakpastian iklim perekonomian dunia saat ini. Pada acara FMB 9 (10/9) bertema "Bersatu Untuk Rupiah" pikiran saya terbuka, bahwa Pemerintah diwakili Kemenko Perekonomian dan Kemenkeu, OJK  dan Bank Indonesia bahu - membahu membendung capital out flow yang berdampak terdepresiasinya Rupiah.
Tercatat ada lima hal yang dilakukan untuk membentengi Rupiah terhadap Dollar yang saya rekam dari pemaparan di  acara itu,  yakni :