Di era digital saat ini, hampir semua pemilik smartphone adalah fotografer dan videografer, tak peduli dimanapun selama tidak ada larangan menggunakan kamera ponsel. Persoalan menjadi rumit bagi smartphone ketika hasil jepretan dan rekaman video menumpuk di memori ponsel, padahal ruang penyimpanan internal smartphone terbatas. Keasyikan mengambil momen -- momen lewat perangkat smartphone memang sebuah keasyikan tersendiri, apalagi  media sosial memberi keleluasaan posting hasil foto dan video yang kita ambil. Hari gini, siapa yang tak mau eksis di media sosial, hampir semua orang ingin populer di timeline medsos.
Beberapa tahun lalu persoalan seperti ini belum muncul ketika kecanggihan ponsel belum seperti sekarang dan media sosial belum eksis. Perilaku "keranjingan" difoto dan memfoto mulai tren dan menjadi budaya baru saat ponsel cerdas harganya mudah terjangkau, sehingga setiap lapisan masyarakat mampu membelinya. Semuanya  hasil sebuah sinergi besar dari industri smartphone, perusahaan aplikasi, operator penyedia data internet dan industri penyokong lainnya dalam menciptakan budaya baru ini.
Tiada tanpa selfie atau memfoto obyek lain, istilah yang tepat untuk menggambarkan perilaku masyarakat "zaman now", tak peduli dimana pun dia berada. Meski begitu tak banyak pengguna smartphone paham bagaimana menyimpan dengan baik file -- file foto dan video yang mereka ambil. Sehingga tak jarang mendengar keluhan  seperti ini : "memori HP ku penuh, gimana caranya mem-backup agar tak hilang?". Tak ada solusi praktis, setiap pemilik smartphone sebaiknya menyiapkan perangkat memori cadangan (backup)untuk menyimpan semua hasil foto dan video.
Mobile PhotographyÂ
Arbain Rambey, Sosok satu ini dikenal sebagai jurnalis foto senior Harian Kompas, terakhir adalah redaktur foto surat kabar yang bermarkas di kawasan Palmerah, Jakarta itu. Dalam  acara Kompasiana Nangkring bersama SanDisk (30/05/2018), Arbain membagikan pengalamannya selama menekuni profesi sebagai jurnalis foto, salah satu tantangan bagi  wartawan foto Kompas pemula adalah memotret "bencong" di kawasan Taman Lawang, Menteng,  Jakarta. Menurut Arbain terlihat gampang dan dia mempersilakan Kompasianer yang hadir mencobanya sendiri.
"Semoga tak dikejar -- kejar",selorohnya sambil menantang Kompasianer yang hadir.
Tak hanya itu, Arbain juga bercerita tentang pengalaman menggunakan kamera dari sistim manual sampai digital, dari kapasitas kamera digital resolusi  1 MP sampai sekarang. Menarik sekali, terutama soal pengiriman foto jaman dulu sebelum era digital dan internet, dimana film -- film hasil foto masih dikirim lewat darat atau udara. Bandingkan dengan era digital sekarang, semua materi foto bisa dikirim dalam seketika lewat internet dengan kualitas gambar tak jauh beda. Demikian juga dengan tehnologi penyimpanan gambar, kini tak lagi memerlukan perangkat besar seperti Hard Disk tapi cukup Flash Disk yang berbentuk kecil tapi berkapasitas besar.
Arbain juga menambahkan, sejak tahun 2012 banyak wartawan Harian Kompas sudah menggunakan kamera smartphone untuk mengambil momen -- momen peristiwa di lapangan. Meski tidak semua diambil dengan kamera ponsel, bagaimanapun juga ada keterbatasan dari perangkat ini.
Dari penutuan Arbain, saya belajar tentang Mobile Photography, sebuah tren yang hadir di era digital dan melahirkan profesi baru blogger foto dan vlogger. Hal ini dimungkin karena meningkatnya kualitas lensa kamera smartphone dan kapasitas penyimpanan konten digital. Tak heran bila  gejala sosial  "keranjingan" difoto dan memfoto begitu meluas di masyarakat. Sayangnya  masih banyak orang melupakan ruang penyimpan konten digital yang mereka ciptakan lewat ponsel.
Solusi Baru Penyimpanan Konten Digital