Untuk menjembatani kekosongan tersebut, BPIP tengah menyusun garis-garis besar pembinaan Pancasila. Problem lain, Hariyono mengungkapkan, adalah ekslusivisme, sehingga, kata dia, terjadi segregasi (pemisahan sebuah golongan dari golongan lainnya) sosial.
"Seharusnya inklusivitas dikembangkan di mana-nama. Sebab, sebuah peradaban hanya muncul di dalam kondisi inklusif. Di mana di sana ada makna dari memberi dan menerima," katanya. Persoalan selanjutnya, menurut Hariyono, adalah terkait pendidikan. Di mana, kata dia, pendidikan Pancasila tidak bisa dilakukan secara top down. Tapi, harus memasukkan nilai Pancasila dalam problem yang ada di masyarakat.
Hal lain yang menjadi pencermatan BPIP, Hariyono mengungkapkan, terkait proses  pelembagaan. Diketahui, sambung dia, saat ini masyarakat kesulitan mencari teladan. "Bahkan dalam dunia seni budaya, seni rakyat kita, tidak memberikan optimisme pada anak didik Indonesia. Misalnya, di Indonesia, hampir semua film mengisahkan kekalahan. Sehingga anak berpikir, kita adalah keturunan bangsa kalah," tuturnya.
Itulah sebabnya, Hariyono mengatakan, BPIP tengah mengembangkan pola pendidikan dan pelatihan yang menjadikan Pancasila menjadi sumber kreasi dan prestasi.Â
Menurut Hariyono, ada kecenderungan ketika bicara Pancasila  hanya terkait masa silam, bukan masa kini dan masa depan. Di dalam pidato 1 Juni, Pancasila sebagai Philosofosche Grondslag, tidak ditemukan pidato-pidato dari tokoh-tokoh lain selain Bung Karno.Â
"Pancasila lahir pada 1 Juni, digodok pada 22 Juni dan disahkan pada 18 agustus. Terkait Pancasila dan keberagaman, orang yang mengenal keberagaman pasti tidak akan radikal. Karena ia terbiasa bergaul secara luas. Terbiasa berpikir terbuka dan toleran. Ini cocok dengan sunatullah, hukum alam," ujar Hariyono.
Yang paling menarik, Wakil Kepala BPIP menjelaskan, tidak ada manusia Indonesia yang DNA-nya yang sama. Ini berarti, Indonesia sangat beragam. Sebagaimana yang disampaikan bung Karno dan bung Hatta, kita adalah bangsa yang besar.
"Pancasila hanya bisa digali dengan nilai-nilai yang ada di tanah airnya. Pohon bisa besar, tinggi, kalau dia memiliki akar yang kuat. Justru nilai-nilai budaya, saat ini mulai banyak yang hilang. Awal mula hilang adalah saat masa penjajahan. Dan penjajahan itu melahirkan jiwa-jiwa yang inlander. Akhirnya, cara berpikirnya sempit, tidak membuka diri," ulas Hariyono.Dalam rangka memperingati Hari Pancasila, Wakil Kepala BPIP menjelaskan, BPIP menggelar festival budaya, seminar internasional, lomba meme, lomba yel-yel, film pancasila pendek, dll.
"Ternyata, anak-anak muda saat ini sangat kreatif. Ketika bicara pancasila, prestasi sebuah bangsa adalah bermuara dari akar budaya yang dimilikinya untuk masa depan," jelasnya. Saat ini, Hariyono menegaskan, kementerian dan lembaga negara harus diingatkan, apakah sejumlah kebijakan sudah berbasis pada pancasila. Karena ternyata, masih banyak regulasi yang tidak berbasis dengan pancasila."Pancasila juga belum mampu menjadi paradigma keilmuan. Karena ketika mengritikisi kapitalisme global dan neoliberal, sementara ilmu pengetahuan berdasarkan nilai-nilai pancasila belum mengakar di dunia pendidikan," jelas Hariyono.
Pandangan PBNU Tentang Islam dan Negara
Saya tertarik dengan pandangan ormas Islam terbesar di Indonesia NU yang diungkapkan oleh Wakil Sekjen PBNU Sulthonul Huda negara Pancasila, Nasionalisme dengan Islam. Sulthonul mengacu pada pendapat pendiri NU KH. Hasyim Asy'ari tentang hubungan negara Indonesia  dan agama Islam.Â