Mohon tunggu...
Sigit Budi
Sigit Budi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Content Creator

Pembuat konten video, host podcast , selebihnya pengangguran banyak acara

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kenali Tipikal "Toxic Leader", Terutama Jelang Pilpres dan Pilkada

22 April 2018   15:43 Diperbarui: 23 April 2018   10:41 2277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemimpin Korupsi adalah Pemimpin Beracun (templaradvisors.com)

Istilah "toxic leader" saya dengar pertama kali dari seorang dosen Lemhanas dalam, Irjen Pol (Purn) Said Sale pada acara bedah buku dari salah satu Paslon Gubernur Sulawesi Selatan di Perpustakaan Nasional, beberapa waktu lalu. Saya tertarik dengan istilah ini, dan mencoba menggalinya, sebab jarang dipakai oleh netizen atau media mainstream. Saya baru paham bahwa istilah ini lebih banyak diperdengarkan dalam latihan kepemimpinan atau managemen. 

Lalu apa pengertian dari "toxic leader"? Saya mengambil dari situs seorang motivator Anthony Dio Martin yang menjabarkan sebagai berikut :

Toxic leader adalah seorang "pemimpin beracun". Apa artinya? Seorang pemimpin yang membangkitkan aura negatif baik bagi tim maupun organisasinya. John Maxwell dalam buku seri kepemimpinannya mengupas soal gaya kepemimpinan Henri Ford yang terkenal buruk.

Meski genius, terkenal, dan dianggap sukses, kepemimpinan Ford dinilai payah. Di bawah kepemimpinannya, banyak terjadi konflik dan kemunduran manajemen. Memang, di awal-awal, organisasinya untung, tapi belakangan akhirnya kerugiannya begitu besar dan tingkat kepercayaan Henri pun rendah. Bahkan kepada anaknya sendiri. Itulah contoh kepemimpinan yang tergolong toxic. (sumber)

Dari penjabaran di atas, satu hal yang saya garis bawahi, bahwa tipe pemimpin jenis ini selalu membawa dampak (efek) buruk organisasi tempat dia memimpin. Belakangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) banyak menjerat kepala daerah sebagai tersangka korupsi, baik gubernur, bupati, ataupun wali kota. Apakah tersangka dari KPK tersebut masuk dalam tipe pemimpin toxic leader? Menurut hemat saya, bisa jadi seperti itu, meski sesungguhnya ada indikator lain untuk menilainya, namun jeratan hukum sudah cukup memasukan tersangka dalam kategori toxic leader.

Bukan rahasia lagi, bahwa perilaku koruptif di birokrasi dan pemerintahan dilakukan lebih dari satu orang, biasanya kerja sama antara atasan dan bawahan. Sangat jarang bawahan melakukan korupsi sendiri bila tak direstui oleh supervisor-nya. Di sini peran atasan adalah pemimpin di lingkup organisasi kerja yang memberi pengaruh buruk bagi bawahannya sendiri.

Banyak calon kepala daerah, yang sebelum berkuasa selalu mengampanyekan nilai-nilai agamis, kejujuran, transparansi, dan tak segan-segan menyimbolkan lewat atribut pakaian. Toh, faktanya setelah berkuasa terlupakan semua nilai-nilai moralitas itu. Saya ambil contoh adalah Gubernur Jambi, Zumi Zola, pada awalnya sukses mencitrakan diri sebagai seorang birokrat religius dan taat agama, dalam perjalanan karirnya cukup ironis menjadi pesakitan KPK. Dari rekaman jejak Zumi, saya bisa simpulkan dia masuk kategori toxic leader, bila ada yang membantah sosok Zumi mampu memberikan inspirasi bagi bawahannya, apakah perilaku koruptif juga memberikan inspirasi baik bagi bawahan?

Saya jadi teringat juga mantan Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho yang berasal dari parpol keagamaan, dalam presentasinya juga selalu menyodorkan kesan baik di depan publik. Perilaku tersebut ternyata hanya sebuah kedok untuk menutupi perilaku negatif dirinya, belakangan KPK juga menjeratnya sebagai tersangka korupsi dan kini terpidana. Kedua sosok tersebut adalah pemimpin tertinggi di sebuah daerah, apa jadi bila perilaku tersebut diikuti birokrat dibawahnya termasuk bupati dan wali kotanya?

Keberhasilan sebuah organisasi terletak pada perilaku pemimpinnya. Pemimpin dengan perilaku koruptif dengan cepat menyebar seperti virus di lingkungan terdekat. Bedanya, perilaku taat asas atau patuh pada peraturan justru sulit merebak di kalangan bawahan. Sudah menjadi hukum alam, kebiasaan baik, perilaku jujur, taat hukum sulit diterima di kalangan birokrasi, perilaku sebaliknya justru menjadi referensi bawahan.

Irjen Pol (Purn) Said Sale menjabarkan dan menggolongkan perilaku "kepemimpinan beracun" antara lain sebagai berikut:

  • Kapitalis birokrat, penyelenggara negara (legislatif, ekskutif, Yudikatif) memperjualbelikan jabatan dan posisinya untuk mendapatkan keuntungan finansial bagi dirinya sendiri, kelompok dan golongannya. 
  • Korupsi, sekali pun pemberantasan korupsi oleh KPK, polisi, dan kejaksaan makin baik dari tahun ke tahun, tapi korupsi masih tetap tinggi. 
  • Autokritik dan paternalistik 
  • Memanfaatkan sumber-sumber organisasi tanpa hak
  • Tidak menyukai bawahan lebih pandai, lebih kreatif dan lebih inovatif.

Sosok pemimpin "beracun" tidak harus berkarakter kasar, marah-marah, bisa jadi berkebalikan dari sifat-sifat tersebut. Dia bisa berpenampilan lemah lembut dan akomodatif untuk mengelabui karakter aslinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun