Masih Sehatkah BUMN Kita ?
Berbicara soal Badan Usaha Milik Negara selalu beraroma tidak sedap, opini yang muncul di publik BUMN syarat dengan "Kolusi, Korupsi dan Nepotisme" (KKN). Di masa lampau, kesan - kesan ini begitu kuat menancap di benak publik. Hampir tidak ada satu pun BUMN yang steril dari virus KKN di masa lalu, hari ini mungkin juga masih ada.
Tak heran bila hari - hari ini setiap langkah dari BUMN dicurigai menguntungkan "kroni" penguasa atau penghapusan jejak hitam kasus masa lalu. Kita tidak bisa berandai - andai dan terus beropini  negatif terhadap BUMN, bagaimanapun juga kondisi BUMN hari ini tak lepas dari sejarah panjangnya.
Apakah kita akan terus menyalahkan masa lalu dan mencari kambing hitamnya?
Di era Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, BUMN melakukan kegiatan kolaborasi untuk melayani rakyat lewat tagline "Bersama Membangun Negeri". Misi ini dalam pengamatan saya cukup sukses mengatasi masalah - masalah  "kemandegan" pembangunan yang lintas sektoral.
Secara kasat mata  pencapaian dalam penanganan arus mudik pulang - pergi di perhelatan nasional, Lebaran terakhir. Kolaborasi BUMN menunjukan efektivitasnya ke publik  meski tidak seratus persen 100 sempurna dan memerlukan evaluasi lagi.
Lalu pada bidang pembangunan infrastruktur, fokus dari pemerintah saat ini. Â Apa mungkin pihak swasta melakukannya secara serentak di berbagai pelosok negeri, terutama di kawasan pinggiran ? Rasanya tidak mungkin, sektor swasta mempunyai banyak pertimbangan untuk melakukan "aksi korporasi", mulai dari perencanaan investasi, pendanaan, pelaksanaan dan koordinasi dengan stake holder. Kegiatan - kegiatan ini tidak mungkin dilaksanakan dalam waktu cepat tanpa ada campur tangan pemerintah lewat BUMN.
Rupanya hal - hal ini kurang  dipahami oleh sebagian masyarakat, masalah - masalah infrastruktur adalah masalah dengan kompleksitas tinggi. Stake holder terlibat tidak hanya satu atau dua pihak, namun melibatkan aparat hukum dari pusat dan daerah, Pemda, kontraktor, investor, perbankan. Maka tak heran bila di masa lalu banyak proyek - proyek infrastruktur tak terselesaikan karena banyaknya peraturan dan pihak yang berkait. Kini persoalan ini sedikit demi sedikit mulai terurai, koordinasi antar sektor lebih lancar.
Kita tidak menutup mata bahwa ada pihak - pihak di dalam kekuasaan dan di luar kekuasaan saat ini terusik dengan langkah - langkah BUMN. Sudah menjadi rahasia umum di masa lalu BUMN adalah "sapi perah" penguasa dan kroni - kroninya. Untuk menghilangkan stigma negatif terhadap BUMN tidak mudah. Hanya satu cara untuk menghilangkannya, yakni BUMN konsisten dan menunjukkan bukti - bukti kepada publik.
Restorasi ratusan BUMN tak bisa dengan cepat, kecuali dengan cara radikal seperti perlakuan konglomerasi swasta menutup anak perusahaannya yang merugi. Sementara BUMN Â juga mempunyai fungsi menjadi kepanjangan tangan pemerintah mewujudkan bunyi sila ke-5, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".
Misi ini memang berat, di satu sisi kinerja BUMN dituntut agar tetap "kinclong" di sisi lain harus konsisten melayani masyarakat. Meski harus menggunakan dana  sendiri dahulu,  baru pemerintah menalangi lewat APBN.
Apalagi Presiden Joko Widodo saat ini secara intensif  menekankan pada pemerataan pembangunan dengan prinsip pembangunan dari pinggiran. Secara nyata masyarakat di perbatasan Indonesia dan wilayah - wilayah yang sampai 70 tahun Indonesia Merdeka belum tersentuh pembangunan.
Bagi kita yang tinggal di kota besar, sarana listrik dan jalan raya mulus adalah hal biasa. Mari kita tanyakan kepada saudara - saudara kita di luar Jawa yang jauh dari kota. Kedua sarana kehidupan itu bisa menjadi sebuah kemewahan, dan kehadirannya mampu mengubah kesejahteraan masyarakat di lokasi tersebut dan masa depan generasi mudanya.
Bukankah setiap warga negara berhak menikmati setiap kue pembangunan dengan porsi yang sama ?
Barangkali kita yang biasa hidup nikmat di Pulau Jawa dengan segala fasilitasnya lupa akan saudara kita di pulau - pulau lain. Pulau Jawa bagi penduduk luar Jawa masih dianggap sebagai pulau termewah, segala fasiltas, prasarana dan sarana kehidupan ada di sini dan mudah didapatkan.
Mengapa ketika pemerintah menetapkan kebijakan BBM satu harga penduduk di Pulau Jawa tidak bereaksi ?Â
Penyebabnya kita tidak pernah mengalami sendiri selama puluhan tahun, justru sebaliknya untuk perubahan harga BBM yang naiknya tidak seberapa kita bisa mencaci maki pemerintah. Apakah saudara kita di pulau lain yang selama bertahun - tahun harus menerima disparitas harga BBM tinggi marah - marah ?Â
Padahal selisih harga BBM di Jawa dan pulau - pulau terluar bisa puluhan ribu per liter. Tak terbayangkan oleh saya bila ada kenaikan harga sebesar itu di Pulau Jawa, mungkin tiap hari, di setiap kota masyarakat dan mahasiswa berdemo siang malam.
Apakah mungkin kebijakan BBM satu harga dilakukan oleh swasta ?
Pastinya cukup sulit, pekerjaan ini sebuah pekerjaan besar dan lintas sektoral. Untuk pengadaan BBM sampai tujuan seperti di kawasan pegunungan di Pulau Papua harus melewati proses panjang. Mulai dari stasiun pengilangan minyak ke lokasi penimbunan, lalu didistribusikan ke wilayah - wilayah terpencil dengan kapal - kapal laut, sampai di pelabuhan dibawa lagi ke lokasi tujuan. Terbayangkah bagaimana kompleksitas pekerjaan di balik kebijakan ini?  Tanpa campur tangan pemerintah dengan keterlibatan BUMN Pertamina  dan lainnya menurut hemat saya tidak mungkin kebijakan ini terealisasi dalam waktu cepat seperti di Pulau Papua.
Tetapi tak bisa menutup mata, masih ada BUMN - BUMN yang kini terus merugi  meski sudah mendapatkan penyertaan dana pemerintah lewat APBN. Sorotan utama publik adalah PLN, BUMN yang menangani penyediaan energi listrik untuk rakyat. Meski rezim terus berganti, BUMN ini tidak pernah saya dengar  untung, selalu merugi.
Dalam beberapa kali  ekspose media  pihak direksi PLN menyatakan kondisi keuangan aman, pasokan listrik juga aman. Seringkali publik disesatkan dengan laporan keuangan BUMN hanya dengan membandingkan aset perusahaan, biaya operasional dan hutangnya. Sudah pasti BUMN tidak akan bangkrut meski hutang lebih besar dari pendapatan karena aset negara lebih besar.
Belakangan kolaborasi bisnis apik mulai terbaca dari BUMN Konstruksi, Bank Pemerintah dalam melakukan pembangunan infrastruktur dan sarana perumahan untuk rakyat. BUMN Konstruksi mengakuisisi lahan, membangun properti dan memasarkan. Perbankan pemerintah sebagai funder bagi BUMN dan pembeli properti. Kolaborasi ini memberikan jaminan rasa aman bagi konsumen atas hak - hak mereka. BUMN sangat kecil tidak menyelesaikan proyek mereka atau meninggalkan begitu saja seperti pada kontraktor swasta yang nakal.
Semoga di masa datang BUMN terus mempertahan kolabarasi dalam melayani negeri dan menghapus tuntas praktek - praktek KKN.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H