Untuk kategori Best Fintech, Adrian Gunadi selaku perwakilan dari PT Investree Radhika Jaya menjadi pilihan Dewan Juri. Sementara Marshall Pribadi selaku perwakilan PT Privy Identitas Digital menjadi peraih untuk kategori Most Promising Fintech. (Kompas 17 Nov 2017)
Perkembangan inovasi teknologi sekarang ini tak bisa diabaikan begitu saja. Meski perkembangan dan implementasinya lebih banyak  diserap oleh generasi Millienial dan Gen Z. Bicara tentang tehnologi tak bisa dilepaskan dengan inovasi - innovasi yang kini mulai menganggu (disruption) pola - pola kemapanan di berbagai bidang.
Istilah 'gangguan oleh inovasi (disruptive innovation dirilis pertama kali oleh Clayton M Christensen dan Joseph Bower lewat artkel "Disruptive Technologies" di jurnal Harvard Bussines Review (1995). Artikel tersebut sebenarnya ditujukan untuk para eksekutif yang menentukan pendanaan dan pembelian di suatu perusahaan di masa depan. (Wikipedia)
Â
Christensen kemudian memperkenalkan model "Disruptive Innovation Model" . Dimana kemampuan pelanggan untuk memanfaatkan suatu yang baru dalam satu lini. Lini terendah adalah pelanggan cepat puas dan lini tertinggi adalah pelanggan yang menuntut.
Kenapa saya melongok ke belakang, sebab inovasi bisnis yang diperkenalkan oleh 2 orang nominator Danamon Entreprenur Award 2017 adalah wujud dari gangguan inovasi tehnologi (disruptive technologies) yang diperkenalkan oleh Christensen.
Adrian Gunadi beserta dua rekannya, Andi M Andries dan Dickie Widjaja mendirikan perusahaan keuangan berbasis tehnologi (fintech) dengan nama "Investree".
Pada tahun 2015, awal berdiri perusahaan ini, Â mereka menggunakan dana pribadi sebagai modal kerja. Belum ada pihak perbankan yang mendukung kegiatan bisnis Investree.
Belakangan pihak bank  mulai melirik bisnisnya, antara lain Bank Danamon yang pertama ikut mendanai. Model bisnis Adrian dan kawan - kawan belum "familiar" saat didirikan 3 tahun lalu, meski di luar negeri seperti di Cina, Inggris , Singapura, Malaysia sudah mulai tumbuh.
Bisnis Investree adalah bisnis investasi dan pembiayaan (lending) dengan sumber dana dari banyak investor / debitor. Investree berdiri sebagai pengelola dan jembatan untuk mempertemukan investor dengan debitur. Metode pembiayaan ini dikenal dengan "crowdfunding".  Bisnis keuangan berbasis tehnologi ini  mulai berkembang pesat di Indonesia.
Secara resmi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan regulasi POJK N0. 77/POJK.01/2016 Â untuk mengawasi perusahaan - perusahaan fintech yang terdaftar resmi di OJK.
Adrian Gunadi dalam  "sharing session" bersama Kompasianer berbagi pengalamannya mendirikan Investree.  Awalnya ia  kesulitan meyakinkan pihak bank untuk mendukung bisnis mereka, meski Adrian sendiri juga mantan bankers. Saat itu Bank Danamon lah yang pertama mendukung bisnis Investree, disusul bank lain.
Kini Investree berusia 3 tahun, sudah didukung oleh beberapa bank, dan banyak investor dari non-bank. Kebanyakan investor dari "platform fintech" Adrian berasal dari generasi Millenial dengan rata - rata investasi 7 juta.
"Dana yang kita gulirkan untuk dipinjamkan sudah mencapai 500 milyar rupiah",tambah Adrian.
Tak terbayang masa awal - awal mereka yang menggunakan dana pribadi dan berpromosi agar masyarakat mau menggunakan "platform" mereka sebagai solusi kesulitan dana.
"Di Investree,anda  seperti meminjam uang ke saudara", ujarnya.
Untuk memperkecil resiko gagal bayar, Investree menggandeng para pemain industri kreatif dan pengusaha UKM yang mempunyai kontrak dengan BUMN, Perusahaan Tbk, Pemerintah.
Menurut Adrian, industri kreatif sangat potensial, margin keuntungan mereka bisa mencapai 30 persen, seperti production house yang memproduksi iklan komersial. Tak hanya itu , Investree juga menyasar pemain online yakni seller di platform belanja online yang mempunyai reputasi penjualan bagus.
Bila Adrian sukses dengan bisnis berbasis "platform fintech", lain dengan Marshall Pribadi pemilik rintisan Privyid. Perusahaan ini bergerak dalam penyediaan layanan jasa "digital signature". Apa itu ? Secara umum dalam setiap kegiatan bisnis melibatkan dokumen - dokumen yang perlu ditandatangani. Apa pun bentuk dokumen tersebut, mulai dari kuitansi, faktur pembelian, surat perjanjian kerja, surat kontrak membutuhkan tanda tangan untuk mengesahkan.
Di era digital, dokumen tidak lagi berwujud fisik seperti kertas, namun berupa data digital  seperti kita kenal dengan file PDF di komputer. Kenapa perlu tanda digital ? Pertukaran dokumen antara kantor dan divisi kini dilakukan lewat internet atau online, surat - surat yang akan dikirimkan tak perlu di- print, lalu dibubuhi tanda tangan, di-scan, lalu dikirim lewat email.
Privyid menawarkan jasa untuk mempersingkat proses dengan menyediakan tanda tangan digital yang tidak bisa diduplikasi, terverifikasi dan sah sebagai bukti di pengadilan. Formatnya bukan seperti tanda tangan di sebuah kertas putih, di-scan lalu dijadikan file berformat vector atau gambar.
Tanda tangan digital (digital signature) dari Privyid ini tersimpan dalam bentuk kode - kode data yang hanya bisa dibaca oleh pemiliknya lewat sebuah kunci digital yang berupa kode -kode juga. Layanan ini dari perusahaan Marshall ini sudah mendapatkan verifikasi resmi dari Kemenkominfo sebagai perusahaan penyedia layanan tanda tangan digital resmi di Indonesia.
"Ibaratnya seperti Visa atau Master  pada kartu kredit atau debit, dimana kartu berlogo itu bisa diterima di merchant - merchant atau ATM berlogo sama, tanda tangan digital juga bisa diterima dan diverifikasi oleh penerimanya secara online dari server Privyid",jelas Marshall.
Saat ini sudah beberapa perusahaan besar di Indonesia menggunakan jasa Privyid, PT Telkom.
"Dengan tanda tangan digital terjadi efisien waktu dalam proses bisnis, di perusahaan seperti Telkom korespondensi dokumen bisa lebih cepat, tidak perlu menunggu kehadiran atasan untuk mengesahkan sebuah dokumen seperti Purchase Order (PO). Di manapun bisa ditandatangi secara online oleh yang bertanggungjawab",jelasnya
Dampak "Disruption Technologies" memang luar biasa. Pada satu sisi membuka peluang - peluang lewat kolaborasi dan sharing, sisi lain mematikan indistri lainnya. Perkembangan dokumen digital sudah pasti berpengaruh pada produksi kertas, bisnis fintech akan mengurangi peran perbankan, asuransi sebagai pemain tradisional. Terbayangkah bila dalam 5 tahun lagi banyak kantor cabang bank dan asuransi akan berkurang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H