Gambaran pertarungan di Pemilihan Presiden (Pilpres) sudah dapat terpetakan, setidaknya strategi kampanye resmi dan tidak resmi penantang Jokowi lewat kasus pelengseran Ahok. Meski segudang prestasi Jokowi selama memimpin dan bagaimana rakyat sangat mencintainya tidak akan berarti apa-apa bila pemilih dihadapkan dengan soal doktrin agama. Pemilih cenderung berlindung dibalik doktrin agama untuk mengambil keputusan memilih, dibandingkan alasan rasional, seperti prestasi kerja dan nama besar.
Pada kasus Ahok, pemillih DKI Jakarta juga dihadapkan pada pilihan, antara memilih “ Gubernur seiman atau Gubernur tidak seiman”. Dua opsi ini selalu ditanamkan kepada benak warga Jakarta setiap hari dan secara intensif pada hari Jumat. Plus, aksi – aksi heroik dengan simbol - simbol keagamaan dan mobilisasi massa untuk melegitimasinya.
Apakah skenario serupa masih bisa dipertahankan untuk Presiden Jokowi? Bila Ahok jatuh karena mobilisasi, indoktrinasi sentimen agama, untuk Jokow tidak mungkin. Faktor – faktor yang ada pada Ahok, tidak melekat pada Jokowi, karena Jokowi beragama mayoritas, lalu sentimen apa yang akan diangkat?
Pada masa Pilpres 2014 pernah terlempar isu ke publik bahwa “Jokowi antek Komunis”, antek Cina, kader Komunis global. Anehnya, saya juga pernah menjumpai sebuah tulisan di internet bahwa Jokowi antek Amerika,konon kedekatan Jokow dengan pihak Washington karena kasus pemboman gereja – gereja di masa lalu. Dimana Jokowi pernah menjadi pejabat Walikota, dan masa itu “sesepuh” para pelaku pemboman itu berada di kampung Ngruki, Sukoharjo tidak jauh dari kota Solo. Kedatangan FBI dan agen – agen rahasia ke Solo untuk memantau itu yang mendekatkan Jokowi dengan Amerika.
Bila melihat tulisan wartawan investigasi di situs “Intercept” , Allan Nairn tentang kudeta terselubung lewat kasus Ahok, strategi sahih yang akan dipakai untuk menyudutkan Jokowi adalah “label” Komunis. Distribusi isu tentu akan masih menggunakan metode propaganda dan lokasi yang sama dipakai oleh partai FIS di Aljazair ketika merebut pemerintahan lewat pemilu.
Opini masyarakat tentang Jokowi akan digiring dengan “cap Komunis Gaya Baru”, disertai propaganda penalaran deduktif ,yakni memberikan kesimpulan baru menyodorkan bukti – bukti penguat.Diantaranyalewat bukti kedekatan Jakarta dengan Beijing, kedatangan Tenaga Kerja asal Cina di Indonesia, investasi Cina yang di Indonesia, munculnya buku – buku kisah masa lalu Jokowi yang dikaitkan dengan PKI. Rasanya beberapa saat lagi akan banyak publikasi – publikasi yang men”framing” Jokowi sebagai antek Komunis gaya baru.
Isu Komunis adalah isu sensitif yang tidak kalah manjurdibandingkan isu “pemimpin kafir” , karena kedua isu akan bersinggungan langsung dengan akidah – akidah agama. Apalagi dikuatkan oleh sejarah yang mencatat bahwa gerakan Komunis telah melakukan 2 (dua) kudeta resmi di Indonesia, dan menimbulkan trauma dan stigma luas di Indonesia. Persepsi umum tentang Komunis sudah identik dengan ajaran yang tidak percaya kepada Tuhan (Kafir) di tengah masyarakat. Premis ini sejajar denganpremisyang diangkat oleh penentang Ahok – Djarot dalam perebutan kursi Gubernur di DKI Jakarta.
Penguatan tuduhan Jokowi sebagai antek Komunis akan terkuatkan oleh faktor PDIP, dimana partai ini adalah penerus ajaran “Bung Karno”, Presiden I RI yang secara implisit divonis sebagai pelindung gerakan 30 September 1965 yang dimotori oleh PKI. Meski tidak semua sejarawan sepakat, apalagi sejak dibukanya dokumen – dokumen rahasia Amerika dan bocoran – bocoran dokumen rahasia resmi oleh Snowden.
Fakta kejadian ini memang mulititasir bagi para cendekiawan, tergantung dari pihak yang memberikan penafsiran, dari pihak pemenang atau pihak yang kalah. Tapi hal ini tidak akan memberikan pengaruh kepada persepsi dari kalangan “grass root”. Kalangan akar rumput lebih mendengarkan tokoh – tokoh agama dan budaya dibandingkan mengikuti arahan para intelektual yang memusingkan kepala.
Kembali kepada soal “labeling / framming” Komunis bagi Jokowi, secara bertahap, inisiasi sudah dilakukan lagi sejak Jokowi dilantik sebagai Presiden RI ke-7, tak lama kemudian terbit buku “Jokowi Undercover” yang isinya menggiringkan opini masyarakat terhadap Jokowi. Setelah hiruk – pikuk Pilkada DKI Jakarta usai dan dimenangkan oleh rombongan penentang Jokowi di Pilpres 2014, tak lama lagi aksi penggiringan opini negatif secara massal dan intensif akan berlanjut ke Jokowi.
Anotomi tokoh, gerakan massa, isu – isu politik lawan Jokowi di Pilpres 2019 adalah sama dengan Pilkada DKI Jakarta 2017, yaitu dari kelompok garis keras kanan, kelompok rindu kekalifahan, kelompok sakit hati di Pilpres 2014, kelompok pengusaha yang tersingkir saat Jokowi menjadi Presiden, dan segilintir “old soldier” yang masih bermimpi sebagai sutradara negeri ini. Secara eksplisit siapa – siapa pelaku lapangan, donatur, pembela (pengacara) dan kelompok massa yang akan aktif menjelang Pilpres 2019 dapat dicermati lewat tersangka kasus – kasus makar beberapa waktu lalu, dan pidato – pidato pemimpin partai oposisi yang tegas maupun yang dua muka, seperti PAN.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H