Kurikulum adalah panduan tentang apa yang akan dipelajari oleh anak-anak kita. Ada pula yang berpendapat bahwa kurikulum adalah perangkat pendidikan yang didalamnya terdapat perencanaan, pelaksanaan, dan pengukuran. Namun, apakah itu menentukan akan pintar atau tidaknya anak kita?
Education is what survives when what is learnt has been forgotten (Skinner, 1964). Pada akhirnya, kata Skinner, yang tertinggal adalah bagaimana anak-anak kita berpikir dan mengambil keputusan ketika dia lupa semua yang telah dipelajari di kelas. Ya, pada akhirnya anak-anak kita akan dihadapkan pada dunia yang berbeda dengan yang dipelajari di kelas. Bayangkan, jika anak saya sekarang ini kelas 1 SD, kelak 15 tahun lagi dia akan menghadapi tantangan, profesi, peluang, dan keadaan politik ekonomi akan sangat berbeda. Saat itulah pendidikannya hari ini akan diuji, sanggupkah dia menghadapi dunia masa depan?
Jika kita cermati, 10 kurikulum yang dicanangkan pemerintah sejak Rencana Pembelajaran 1947, Rencana Pelajaran Terurai 1952, Rencana Pendidikan 1964, Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994 (dan Suplemen 1999), Kurikulum 2004, Kurikulum 2006, hingga Kurikulum 2013, tidak satupun yang jelek. Semuanya baik. Masalahnya, ketika kurikulum itu berubah: berubahkah pengalaman belajar kita di kelas? Terus terang, saya tidak mengalami perubahan apapun saat saya duduk di bangku SMP dan SMA. Gurunya ya begitu-begitu saja, menulis di papan tulis sambil bercerita panjang lebar sementara pikiran saya melayang ke gadis pujaan hati.
Akhirnya saya terinspirasi oleh beberapa guru yang "out of the box" atau dianggap "nyleneh" atau "antik". Merekalah yang "mengoyak" pikiran saya, membawa saya pada dunia imajinasi dan memaksa saya keluar dari comfort zone. Namun, sayangnya guru semacam itu biasanya "disingkirkan" oleh guru-guru senior yang kolot bahkan akan dipertanyakan oleh yayasan. Mungkin, mereka menjadi guru langka atau "terkubur" dalam tumpukan kerja administrasi yang melelahkan. Saya sendiri pernah 12 tahun menjadi guru dan saya pun sadar bahwa  mengajar di depan kelas hanya 50% beban. 50% lainnya adalah di administrasi dan mengoreksi pekerjaan siswa.
Saya menulis di sini bukan sebagai guru, tapi sebagai orang tua. Saya sharing sedikit kisah saya. Saya diajar oleh guru di SMA saya. Saya lupa yang dia ajarkan, tapi saya ingat gayanya dan tingkah lakunya. Tugas-tugasnya yang "aneh" misalnya meminta saya menulis berhalaman-halaman, lalu meminta saya mencoret sendiri tulisan saya, lalu saya diminta menulis lagi. Sebagai remaja, waktu itu saya agak malas juga. Tapi, metode itu sungguh saya rasakan manfaatnya sekarang ini. Meskipun saya lupa belajar apa, saya ingat bagaimana saya harus belajar. Saya harus berani menuliskan pikiran saya, lalu mengoreksinya, lalu berjuang untuk memperbaikinya lagi.
Waktu SMA itu sekolah saya menggunakan kurikulum yang sama dengan SMA lain di seluruh Indonesia. Namun, saya mendapatkan guru yang berbeda. Tak heran jika dikatakan oleh Wesley Null dalam bukunya Curriculum: From Theory into Practice bahwa guru adalah bagian sentral dari kurikulum. Benar juga yang dikemukakan oleh Mendikbud Anies Baswedan, metode mengajar yang terpenting.
Kurikulum  penting, tapi tidak akan berguna tanpa guru yang kompeten. Pada akhirnya, sebagai orang tua, saya akan memilih sekolah yang memiliki guru berkualitas. Pada akhirnya pula, ketika saya harus mengeluarkan uang untuk membayar uang gedung dan SPP, akan saya lihat dulu para gurunya, lulusannya, dan bagaimana sekolah itu akan mengajar anak saya untuk berpikir, merasa, dan menjadi manusia. (Sigit Setyawan, Bapak 2 anak. Penulis buku "Guruku Panutanku" dan "Nyalakan Kelasmu").
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H