Mohon tunggu...
Sigit Setyawan
Sigit Setyawan Mohon Tunggu... Lainnya - Keterangan Profil

Pembelajar.Pendidik.Penulis. Praktisi pendidikan. Trainer Metode Mengajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Indonesia Ramah, Cermin Keagungan Budaya

1 November 2018   14:58 Diperbarui: 1 November 2018   15:22 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia dikenal akan kekayaan budayanya. Budaya lahir dari keagungan kehidupan manusia. Kebudayaan bangsa adalah cermin peradaban. Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah.

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang santun dan ramah. Sejak kecil saya diajarkan untuk hormat pada tamu yang datang, senyum pada orang asing. Kesantunan dan keramahan masyarakat itu sangat terkenal di seluruh dunia. Waktu saya kecil, di era 80-an, saya begitu bangga dengan keramahan bangsa Indonesia. Pun, waktu saya hidup di desa, semua orang saling sapa. Pada saat Idul Fitri, saya senang sekali berkeliling untuk bersalaman (istilah di desa saya: ujung) meminta maaf ke seluruh tetangga. Sebagai anak kecil waktu itu, saya senang sekali saat tuan rumah meminta kami untuk makan, lalu diberi uang untuk jajan.

Saat ini pun, saat kita ke desa-desa, kesannya sama: ramah dan tulus. Jadi, jika ada adat budaya lain yang membawa keberingasan dan memunculkan kemarahan, sesungguhnya itu bukan jati diri masyarakat kita.

Keramahan desa itu sebenarnya saya alami di kota besar seperti Jakarta. Waktu itu saya pertama kali kerja di Jakarta, di tahun 2002. Setiap pagi saya naik bus, berdesak-desakan beberapa menit setelah kumandang Adzan Subuh.

Lama kelamaan, saya mulai hafal wajah orang-orang yang setiap pagi berdesakan bersama di bus.

Suatu saat, kami tegang karena komplotan pencopet beraksi. Saat mereka turun, ada seserang yang menyeletuk lega. Spontan, semua orang tertawa. Cair suasana. Hari berikutnya, suasana bus kota itu penuh kehangatan. Saling ngobrol layaknya sudah kenal lama.

Perhatikan saat kita masuk ke desa. Desa di Indonesia sangat terbuka.  Tidak pernah warga desa bersyak-wasangka. Setiap orang asing diterima dengan baik. Prinsipnya, semua orang dianggap orang baik, sampai suatu ketika orang itu berbuat tidak baik, maka orang-orang akan bersama-sama mengucilkan atau mengusir orang itu.

Berbeda dengan masyarakat kota yang hidupnya di perumahan dengan sistem cluster. Setiap masuk perumahan cluster, setiap orang dicurigai sebagai orang yang berpotensi berbuat jahat. Jadi, harus meninggalkan (atau menunjukkan) kartu identitas. Setelah "diverifikasi" bahwa saya orang "baik"  baru kemudian saya diterima dengan baik. Namun, toh tetap sejatinya kita bertemu orang-orang ramah juga.

Jadi, ditengah semua gegap-gempita dan perubahan teknologi informasi. Di tengah serangan-serangan hoax. Serta, di tengah upaya orang-orang asing menyerang jati diri santun dan ramah ini, seyogyanya kita waspada dengan tetap ramah dan sadar: bahwa kita adalah bangsa besar yang memiliki keagungan budaya. Tetap eling lan waspada (mengingat jati diri kita dan waspada terhadap pengaruh buruk).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun