Membaca postingan di media sosial tentang temuan UNESCO 2012, 1.000 dari anak Indonesia hanya 1 anak saja yang membaca buku dalam satu tahun, membuat saya terdiam lama. Pikiran saya melayang ke asisten rumah tangga yang dulu pernah bersama kami.
Begini ceritanya. Si Mbak yang membantu kami itu memiliki seorang putra berumur kira-kira 5 tahun. Putranya itu merengek-rengek minta dibelikan tab (handphone). Si Mbak bercerita bahwa dia kerja keras demi untuk membelikan sang putranya itu sebuah tab seharga Rp 900.000,- Pada akhirnya, beberapa minggu kemudian wajah cerianya itu menjelaskan kepada kami bahwa ia berhasil membelikan gadget itu untuk sang anak.
Benar, putranya itu asyik main gadget saat kami melihatnya. Akan tetapi, kemudian wajahnya kembali kusut saat ia bercerita harus membayar buku pelajaran seharga Rp 38.000,- "Mahal ya, Bu!" keluhnya kepada istri saya. Apalagi, saat ia tahu kami membelikan sebuah novel untuk anak kami. Ia bertanya, "Berapa harganya?" dan istri saya menjawab, "50 ribu," lalu dia merespon, "Wah, mahal sekali ya!"
Demikian potret realita kita. Banyak dari orang Indonesia rela berjuang demi gadget untuk dirinya sendiri atau untuk anak mereka. Namun, saat bertemu buku seharga 50 ribu saja, terasa sangat mahal.
Sebagai praktisi pendidikan, saya langsung memikirkan tentang peran institusi sekolah. Gerakan Literasi yang digagas oleh Menteri Pendidikan terdahulu, Anies Baswedan, sempat memberikan asa. Sebagai gerakan awal cukup untuk memberi rangsang, tetapi itu masih jauh panggang dari api. Kenyataannya gerakan yang telah dimulai itu belum mampu mendobrak kebiasan malas baca di kalangan siswa, bahkan di kalangan guru. Akan tetapi, bukan itu yang ingin saya fokuskan. Saya lebih cenderung mengira bahwa nyaris nihilnya minat baca temuan UNESCO itu mungkin karena beberapa sebab berikut ini.
1. TK mengajarkan Calistung
TK yang mengajarkan Calistung saya lirik sebagai salah satu unsur penyebab. Pertama, terlalu dini mengajarkan baca tulis dapat membuat anak merasa terpaksa menulis dan terpaksa membaca. Mereka yang masih ingin bermain air, berlarian ke sana ke mari, dan bersenang-senang dengan teman tiba-tiba dipaksa untuk duduk, menulis huruf, membaca, padahal motorik halusnya saja belum mampu membentuk garis lengkung. Oleh karena itu, saya mendukung Permendikbud No.137 Tahun 2014 tentang PAUD yang melarang Calistung diajarkan di TK. Dengan memaksa anak dapat membaca di TK, anak dapat merasakan tekanan, intimidasi, dan kelelahan membaca dan menulis.Â
2. Salah Konsep Mengenai Keberaksaraan
Hal kedua yang saya llirik sebagai unsur penyebab lain adalah mengenai keberaksaraan. Banyak pendidik mengira bahwa keberaksaraan atau melek huruf hanyalah soal mampu membaca deretan huruf menjadi kata, frase, lalu kalimat, dan paragraf. Padahal, keberaksaraan seharusnya meliputi pemahaman bacaan. Maka, membaca dengan lantang dan lancar tetapi tidak mengerti apa maksud bacaan itu adalah keberaksaraan tingkat elementer saja. Oleh karena itu, jangan heran jika saat ini banyak guru mengeluh tentang banyaknya siswa yang tidak mampu memahami instruksi yang ditulis gurunya di soal tes.
3. Kurikulum Kita Berat Materi