Tepat 1 tahun 3 minggu lamanya saya mengurus pembuatan e-KTP di kecamatan tempat tinggal. Ya, sebagai warga negara yang baik, sudah sepantasnya mengikuti aturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah, dalam hal ini kemendagri. Satu tahun 3 minggu, masih belum. Ada yang sudah menanti 3 tahun atau bahkan lebih. Senasib kita jika  e-KTP kamu belum juga jadi atau dicetak (colek pak menteri).
Saya bukan satu-satunya warga yang belum memiliki e-KTP, atau lebih jelasnya belum menerima fisiknya. Sudah setahun yang lalu saya mengurusnya dengan penuh suka cita, berharap agar segera selesai, bertekad tidak akan mengeluarkan uang sepeser pun untuk pembuatanya. Terbukti sampai sekarang zoonk....
Proses penyelidikan kasus e-KTP terus berjalan serta telah menetapkan 5 tersangka, salah satunya petinggi partai lambang beringin yang selalu dapat lolos dari jerat hukum. Artikel ini bukan untuk membahas soal penyelidikan e-KTP oleh KPK, proses hukum jalan terus tapi perekaman, pencetakan yang berkaitan dengan blangko juga harus tetap jalan. Ingat jangan jalan di tempat.
Setelah proses perekaman yang banyak menimbulkan masalah, termasuk berdata ganda yang masih terus di permasalahkan oleh pihak Kemendagri. Untuk menyelesaikan data ganda, masyarakat harus langsung melakukan koreksi data apa yang bermasalah, sering terjadi di lapangan beberapa masyarakat selalu ngotot bahwa tidak mungkin data mereka berstatus ganda.
Beberapa penyebab berdata ganda biasanya terjadi saat perubahan data, adanya panambahan anggota keluarga, pindah alamat dan alasan lainya. Bisa terjadi karena salah input data, namanya juga manusia yang bisa salah (selalu ngeles). Kesalahan manusia yang paling banyak terjadi, para pegawai di lapangan sering salah tulis NIK, nama, alamat tempat tinggal, agghh banyaklah pokoknya.
Coba saja pelayanan di kelurahan, kecamatan, bisa sebaik di kantor Disdukcapil, pasti kesalahan input data dapat diminimalisasi. Loh apa bedanya? Kalau di kelurahan terlalu santai, nulis atau ketik-ketik bisa sambil merokok. Jelas potensi kesalahan input data sangat besar, di tambah dengan pengisian form dari petugas kelurahan serta kecamatan yang sudah mirip tulisan dokter saja.
Kembali ke topik, masalah e-KTP yang tak kunjung selesai, berdata ganda, sampai masalah ketersedian blangko yang sampai saat ini terjadi. Saya yakin, jika hal tsb di tangani secara serius pasti bisa cepat selesai. Semua hal di persulit untuk mendapatkan keuntungan, melayani masyarakat jadi nomor buncit, tak heran kita dipaksa untuk mengikuti terus permainan kotor para oknum di lapangan.
Bosan kalau kita membahas masalah e-KTP, seolah tak menemukan titik temu. Bersabar dan menunggu gebrakan dari Kemendagri. Ah ternyata hanya omong kosong. Omongan sekelas menteri saja tidak pernah didengar oleh bawahan, terbukti sampai saat ini masalah ketersedian blangko belum juga tuntas. "Bagi yang bohong, kepala dinasnya akan kami ganti," kata Tjahjo di kantor Kemendagri, Jakarta, Rabu (20/9/2017). Ayo pak menteri buktikan omongan Anda dengan tindakan.
Sebenarnya ada beberapa perubahan aturan terkait pencetakan e-KTP. Saat ada info blangko e-KTP tersedia, saya segera datang ke kecamatan tempat tinggal. Menanyakan ke petugas soal ketersediaan blangko e-KTP, niat awal ingin mengurus sendiri ke Pemda Bekasi, namun langsung dijawab oleh petugas. "Blangko e-KTP hanya ada di kecamatan, dan Pemda tidak mengurusi cetak e-KTP," terangnya.
Lantas si petugas juga menjelaskan bahwa blangko e-KTP sudah habis, tunggu saja sampai ada pendistribusian lagi. Petugas tersebut juga mengarahkan saya agar datang di acara pekan raya Kota Bekasi tanggal 25 Agustus 2017. Namun sayang, di sana juga hanya melayani Rekam data e-KTP, pembuatan akta kelahiran, kartu keluarga dan surat keterangan pengganti e-KTP.
Jadi jelaskan, sekelas Kabupaten Bekasi saja blangko tidak ada, atau memang sengaja tidak dikeluarkan, entahlah. Kita masyarakat hanya bisa menerka-nerka, sementara pemangku kebijakan kita lihat tidak ada upaya untuk segera mengatasi masalah ini. Masa sih  pengadaan blangko harus memakan waktu berbulan-bulan lamanya. Terlalu banyak kepentingan pribadi, sehingga yang untuk melayani masyarakat tak sempat dipikirkan.